Warga Cianjur Angkat Bicara, Energi Bersih yang Mengancam Sumber Kehidupan. (Foto: Rhamdani).
Cianjur | Gelombang penolakan keras terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menguat dari berbagai elemen masyarakat Kabupaten Cianjur. Gabungan Masyarakat Peduli Gede Pangrango, yang terdiri dari perwakilan petani, pegiat lingkungan, dan organisasi masyarakat, secara tegas menyatakan penolakan tanpa syarat terhadap proyek yang dianggap mengancam kedaulatan ekologi dan ekonomi wilayah mereka.
Hendra Malik, salah satu penggerak masyarakat, menegaskan bahwa proyek ini bukan sekadar persoalan pembangunan, melainkan ancaman eksistensial. “Ini dibungkus narasi ‘energi bersih’, tetapi pada hakikatnya adalah bencana ekologis yang terencana bagi keberlanjutan hidup jutaan orang di Cianjur, Bogor, hingga Sukabumi,” ujarnya, Jumat (12/12/2025).
Pilar Penolakan: Air, Bencana, dan Keadilan Sosial
Analisis mendalam dari kelompok masyarakat mengungkap tiga pilar utama penolakan mereka:
1. Ancaman terhadap Kedaulatan Air dan Pertanian
Gunung Gede Pangrango,sebagai Cagar Biosfer UNESCO, berperan sebagai “menara air” raksasa yang menghidupi ratusan mata air. Sumber air ini merupakan nadi bagi pertanian sayur-mayur unggulan Cianjur dan pasokan air minum masyarakat. Proyek PLTP yang membutuhkan air dalam volume sangat besar untuk pengeboran dikhawatirkan akan memperparah krisis air yang telah dirasakan petani dan berpotensi mencemari sumber-sumber air bersih.
2. Memicu Kerentanan Bencana di Wilayah Rawan Gempa
Trauma mendalam akibat Gempa Magnitudo 5,6 pada 2022 masih membekas.Masyarakat dan sejumlah pakar mengkhawatirkan aktivitas pengeboran masif di kawasan gunung berapi aktif dapat memicu gangguan geologi atau gempa susulan, mengancam keselamatan warga di kaki gunung. Selain itu, pembangunan akses dan infrastruktur proyek dinilai berisiko merusak hutan konservasi dan habitat satwa langka.
3. Pola Pembangunan yang Memicu Konflik dan Intimidasi
Masyarakat menilai proses proyek sarat dengan masalah sosial.Kekhawatiran utama adalah potensi perampasan lahan garapan turun-temurun petani.
Transparansi proyek juga dipertanyakan, dimana sosialisasi dinilai tertutup dan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sulit diakses publik. Yang lebih memprihatinkan, sejumlah warga dan aktivis yang vokal menyuarakan penolakan melaporkan mengalami tindakan intimidasi hingga upaya kriminalisasi.
Berdasarkan keprihatinan tersebut, masyarakat Cianjur mengajukan tiga tuntutan konkret:
1. Penghentian Total Proyek: Mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menghentikan seluruh aktivitas eksplorasi dan mencabut izin proyek PLTP di kawasan TNGGP.
2. Konsistensi Janji Politik: Mendesak Bupati Cianjur untuk konsisten menepati janji politiknya selama kampanye yang menyatakan sikap menolak proyek panas bumi bersama masyarakat.
3. Prioritas pada Kesejahteraan Lokal: Pemerintah diminta mengutamakan perlindungan ekosistem Gede Pangrango dan kedaulatan pangan warga, mengingat sektor pertanian terbukti menjadi penopang ekonomi dan penyerap tenaga kerja utama di wilayah tersebut.
Suara penolakan ini menunjukkan bahwa transisi energi tidak bisa mengabaikan suara, hak, dan kelestarian lingkungan masyarakat lokal yang paling terdampak. Perdebatan antara target energi nasional dan keberlanjutan ekologi-sosial di Cianjur diperkirakan akan terus memanas.














