Stop Kriminalisasi Press, Oknum Wartawan Jadikan Press Sebagai Alat Peras

Stop Kriminalisasi Press, Oknum Wartawan Jadikan Press Sebagai Alat Peras (Poto: Ilustrasi).

Sukabumi | Di era digital yang serba terbuka ini, akses terhadap informasi dan berita semakin mudah diperoleh. Namun, kemudahan ini turut membawa tantangan baru, terutama terkait integritas dan etika dalam dunia jurnalisme. Salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah maraknya tindakan kriminal yang melibatkan oknum wartawan, yang memanfaatkan pemberitaan untuk kepentingan pribadi.

Sorotan terkini tertuju pada kasus pemberitaan mengenai penjualan obat golongan G (Tramadol) di Kampung Benda, Desa Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Seorang oknum wartawan diduga memanipulasi situasi dengan meminta uang sebesar Rp2 juta kepada pemilik toko obat sebagai “uang damai” agar pemberitaan tersebut tidak disebarluaskan.

“Dengan dalih pemberitaan, oknum tersebut mengancam bahwa berita ini akan terus di-running jika tidak ditutup atau di-take down,” ungkap RD, salah satu karyawan toko obat, kepada awak media pada Selasa (13/5/2025).

Lebih lanjut, RD menjelaskan bahwa awalnya oknum wartawan itu mengaku akan berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Polres Kabupaten Sukabumi. Namun, alih-alih menindaklanjuti secara profesional, oknum tersebut justru meminta sejumlah uang sebagai kompensasi.

“Jika tidak ditutup, berita tentang toko obat ini akan terus disebarkan,” tambahnya.

Praktik tidak etis semacam ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas profesi jurnalis. Kode etik jurnalistik seharusnya mengedepankan prinsip kejujuran, objektivitas, dan ketidakberpihakan. Namun, tindakan pemerasan seperti ini justru merusak kepercayaan publik terhadap media.

Yudi S. Sn, Ketua Koordinator Wilayah (KORWIL) Sukabumi Raya dari Forum Pers Independent Indonesia (FPII), menegaskan bahwa wartawan memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi secara independen dan berimbang.

“Sikap profesional sangat penting dalam menjaga integritas individu dan institusi media. Wartawan harus menjadi jembatan antara fakta dan publik, bukan alat untuk mengeksploitasi,” tegasnya saat diwawancarai di kediamannya.

Ia juga menekankan bahwa pemerasan merupakan tindakan kriminal yang dapat dikenai sanksi hukum. Oknum yang meminta “uang damai” tersebut dapat dijerat dengan pasal pemerasan. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan dan regulasi yang lebih ketat untuk meminimalisir penyalahgunaan profesi jurnalis.

“Etika jurnalistik adalah fondasi utama dalam profesi ini. Pengawasan terhadap penjualan obat terlarang harus dilakukan secara transparan dan berbasis bukti, bukan melalui intimidasi atau pemerasan,” tambahnya.

Kasus ini menjadi pengingat betapa pentingnya penguatan etika jurnalistik di tengah pesatnya arus informasi. Badan regulasi penyiaran dan organisasi jurnalis di Indonesia harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan jurnalistik yang sehat dan akuntabel. Tanpa integritas, profesi ini tidak hanya kehilangan kredibilitas, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat.

Masyarakat pun diharapkan lebih kritis dalam menyikapi pemberitaan, sekaligus mendorong praktik jurnalisme yang bertanggung jawab demi terwujudnya informasi yang berkualitas dan berintegritas.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *