Analisa Kritis terhadap Keadilan Pangan dan Kinerja BUMD Pangan DKI Jakarta. (Foto: Istimewa).
Jakarta hari ini dikepung dua hal sekaligus: retorika kebijakan dan kenyataan harga pangan yang terus melonjak.
Di tengah narasi manis Pemerintah Provinsi melalui Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) 2024–2026, pertanyaan paling mendasar justru tak pernah dijawab: jika stok beras disebut aman, bahkan surplus, mengapa harga tetap naik?.
Jika rantai pasok diklaim lancar, mengapa rakyat masih makan dengan menu seadanya?.
Kita sudah terlalu sering dijejali “mantra ketersediaan pangan”, tapi realitas di warung dan pasar berbeda.
Warga miskin kota membayar lebih mahal untuk pangan yang seharusnya menjadi hak dasar, bukan komoditas bisnis.
Sementara itu, para direksi BUMD Pangan, terutama di Food Station (FS), lebih sibuk memoles laporan untung rugi, bukannya memastikan akses pangan murah bagi warga kelas bawah.
FS bukan kantor dagang.
Ia dibentuk untuk menjamin distribusi pangan yang adil, menstabilkan harga, dan menjaga pasokan. Tapi hari ini, ia tampil layaknya korporasi swasta, mengejar margin, menjual harga “subsidi” yang tetap tidak terjangkau, dan abai pada tanggung jawab sosial.
Jangan salah, rakyat paham: pangan yang mahal adalah simbol pengkhianatan terhadap misi keadilan sosial.
Di tengah semua ini, RAD-PG justru terkesan normatif, birokratis, dan tanpa taring.
Ia menyusun strategi besar, tapi tak menyentuh realita harga yang menyesakkan napas rakyat.
Tak ada mekanisme pengendalian harga yang nyata.
Tak ada jaminan bahwa beras, telur, sayur, dan protein bisa dibeli dengan harga wajar oleh keluarga-keluarga yang hanya hidup dari upah harian.
Lebih ironis lagi, tidak ada satu pun evaluasi terhadap kinerja BUMD yang diamanahkan menangani soal pangan.
Seolah mereka kebal dari kritik, padahal justru di situlah titik kerusakan paling dalam: BUMD yang lebih nyaman menjadi pedagang daripada menjadi pengaman logistik pangan kota.
Maka kami mendesak DPRD DKI Jakarta, khususnya Komisi B, untuk segera memanggil dan memeriksa seluruh Direksi BUMD Pangan.
FS, Pasar Jaya, Dharma Jaya harus diaudit: apa kontribusinya terhadap keadilan pangan? Apa indikator kerja mereka?
Dan kenapa mereka masih nyaman menjabat di tengah kelaparan rakyat?.
Jika RAD-PG ini memang diniatkan untuk rakyat, maka wujudkan dengan tindakan, bukan tayangan.
Jakarta tidak butuh slogan bahwa pangan itu tersedia. Jakarta butuh harga yang bisa dibeli, dan sistem distribusi yang melayani, bukan memperkaya.
Sudahi semua ini. Jika pemimpin Jakarta bicara soal pangan, pastikan yang didengar bukan hanya para dirut dan birokrat berkemeja licin, tapi juga suara para ibu di gang-gang sempit yang belanja harian dengan sisa uang seribuan.
Karena di balik sepiring nasi yang tak terbeli, ada rakyat yang sedang ditinggalkan.
LAKPAN : Lembaga Kajian Konsumen Pangan Nusantara
Jakarta, 2025















