Setiap kali hujan deras mengguyur Puncak, Bogor, sungai-sungai meluap, Jakarta kebanjiran, dan pejabat-pejabat di balik meja sibuk bersilat lidah. Mereka berdalih perubahan iklim, curah hujan ekstrem, atau malah menyalahkan masyarakat kecil yang tinggal di bantaran sungai. Tapi, mari kita buka borok ini lebar-lebar—kerusakan di hulu sungai, terutama kawasan Puncak, bukan terjadi begitu saja. Ada tangan-tangan busuk yang merampok alam dengan bekingan kekuasaan!
Hulu Sungai Ciliwung yang dulu rimbun dengan pepohonan, kini berubah menjadi lahan beton. Vila-vila mewah menjamur seperti cendawan di musim hujan. Bangunan-bangunan tak berizin berdiri angkuh di tanah yang seharusnya menjadi resapan air. Dan lucunya, ketika Satpol PP atau pemerintah berbicara soal penertiban, yang mereka gusur justru rumah-rumah rakyat kecil, sementara vila-vila milik pejabat, pengusaha, dan kolega mereka dibiarkan kokoh berdiri. Tertawa atau menangis melihat sandiwara ini?
Hancurnya Paru-Paru Puncak: Data yang Bicara
Mari bicara fakta. Dulu, kawasan Puncak memiliki lebih dari 15.000 hektar hutan lindung. Kini, luasnya menyusut drastis hingga tinggal 8.000 hektar. Penyebabnya? Pembabatan liar, alih fungsi lahan, dan proyek-proyek properti milik orang-orang yang namanya kerap muncul dalam daftar tamu istana negara.
Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), dalam kurun waktu 16 tahun terakhir, 5.700 hektar hutan alam di Puncak lenyap!
Ini bukan angka kecil,Ini perampokan ekologi dalam skala besar!
Dan siapa yang harusnya bertanggung jawab? Pemerintah Kabupaten Bogor, Kementerian Kehutanan, serta aparat yang dengan sengaja memejamkan mata terhadap pelanggaran ini.
Lalu, bagaimana dengan pertumbuhan populasi di kawasan ini? Seiring menjamurnya vila-vila ilegal, populasi Puncak membengkak tak terkendali. Tahun 2000, jumlah penduduk di Kecamatan Cisarua sekitar 120.000 jiwa. Kini, jumlahnya meningkat drastis menjadi lebih dari 250.000 jiwa! Dengan laju urbanisasi yang tinggi dan pembangunan yang rakus, ruang hijau yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap air kini berubah menjadi lahan parkir dan resort mewah.
Siapa yang Pantas Disalahkan?
Jangan salahkan rakyat kecil yang mendirikan rumah sederhana di bantaran sungai karena mereka tak punya pilihan. Mereka bukan penyebab utama kerusakan ini. Penyebab sebenarnya adalah para pemilik vila-vila besar yang dengan rakus merampas tanah dan membangun bangunan mewah tanpa izin.
Siapa mereka?
Oh, Anda pasti tahu.
Beberapa di antara mereka duduk di pemerintahan. Beberapa adalah pengusaha yang akrab dengan lingkaran kekuasaan. Mereka memiliki akses ke regulasi, bisa menyulap tanah konservasi menjadi kavling pribadi dengan selembar kertas perizinan yang entah keluar dari mana.
Ketika banjir datang, rakyat kecil yang menderita. Rumah mereka terendam, barang-barang hanyut, dan mereka terpaksa mengungsi. Sementara itu, pemilik vila-vila mewah tetap nyaman menyeruput kopi di balkon mereka, menyaksikan bencana yang mereka ciptakan sendiri.
Sampah, Sungai, dan Kebiasaan Buruk: Cermin Ketidakpedulian
Mari kita akui satu hal: banyak masyarakat juga berperan dalam kerusakan ini. Kebiasaan membuang sampah ke sungai, mendirikan bangunan tanpa memikirkan ekologi, semua itu memperburuk keadaan. Tapi apakah itu akar permasalahan? Tidak.
Akar masalahnya adalah pembiaran dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatur tata ruang. Jika dari awal pemerintah bersikap tegas terhadap vila ilegal, memberikan edukasi kepada masyarakat, dan memperbaiki sistem drainase, masalah ini tidak akan sebesar sekarang. Tapi apa yang terjadi? Regulasi hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas!
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, tindak tegas seluruh vila dan bangunan ilegal di Puncak, tanpa pandang bulu! Jangan cuma menyasar pedagang kaki lima atau pemukiman rakyat kecil. Bongkar vila-vila pejabat, pengusaha rakus, dan mereka yang jelas-jelas melanggar aturan.
Kedua, rehabilitasi kawasan hulu sungai! Jangan sekadar reboisasi seremonial untuk pencitraan. Harus ada kebijakan nyata untuk mengembalikan fungsi hutan lindung dan daerah resapan.
Ketiga, audit seluruh perizinan bangunan di Puncak. Siapa yang memberikan izin? Apakah ada unsur korupsi? Bongkar sampai ke akarnya!
Keempat, hukum pejabat yang membiarkan kerusakan lingkungan ini terjadi. Jika ada kepala daerah, menteri, atau pejabat yang bermain mata dengan pengembang, maka mereka harus bertanggung jawab.
Tamparan untuk Para Penguasa dan Pemilik Vila Mewah
Banjir yang terjadi di Jakarta dan daerah sekitarnya bukan hanya akibat hujan deras. Itu adalah air mata dari alam yang dirampok tanpa ampun. Itu adalah jeritan dari pohon-pohon yang tumbang demi kepentingan segelintir elit. Itu adalah akibat dari ketamakan manusia yang mengira bahwa kekuasaan bisa membeli alam.
Bagi mereka yang selama ini mengabaikan krisis ini, sadarilah: ketika bencana semakin besar, uang dan jabatan tidak akan bisa menyelamatkan kalian. Hutan yang kalian babat, lahan yang kalian rampas, akan menuntut balas dengan cara yang lebih dahsyat.
Dan bagi mereka yang masih peduli pada lingkungan, ini waktunya bersuara! Jangan biarkan kejahatan lingkungan ini terus berlangsung. Puncak adalah sumber kehidupan bagi kita semua. Jangan biarkan para rakus itu mengubahnya menjadi ladang bencana.
Ini bukan sekadar kritik, ini adalah peringatan. Jika kalian terus bermain-main dengan alam, maka bersiaplah menghadapi murkanya!***
Oleh : Jalu 369














