Makan Gizi Gratis yang Harus Bergizi

Dalam setiap kebijakan besar, ada satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab: Apakah ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk memenuhi janji politik?

Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu program ambisius yang ditawarkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Gagasan ini tampak sederhana, tetapi dampaknya luar biasa.

Memberikan makanan sehat dan bergizi kepada jutaan rakyat Indonesia bukan sekadar tindakan sosial, melainkan investasi pada masa depan bangsa.

Anak-anak yang tumbuh dengan asupan gizi cukup akan menjadi generasi yang lebih cerdas dan produktif. Namun, di balik ide besar ini, ada satu pertanyaan yang menggelitik: Apakah program ini benar-benar siap?

Sejarah mengajarkan kita bahwa niat baik saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan yang nyata.

“Keberhasilan sebuah kebijakan tidak diukur dari seberapa cepat ia dijalankan, tetapi dari seberapa matang dipersiapkan,”begitu kata Niccolò Machiavelli dalam The Prince, yang menegaskan bahwa kebijakan yang tergesa-gesa justru bisa menjadi senjata makan tuan.

Hari ini, kita melihat tanda-tanda ketidaksiapan itu. Makanan yang seharusnya bergizi justru menimbulkan keracunan di beberapa daerah.

Pengusaha katering yang berharap bisa ikut serta dalam program ini malah menjadi korban penipuan.

Di balik semua ini, ada angka yang tidak bisa dibohongi: Rp 10.000 per porsi. Angka yang, jika diteliti dengan akal sehat, tampak lebih seperti alokasi untuk sekadar mengenyangkan perut, bukan untuk benar-benar memenuhi kebutuhan gizi.

Kita perlu jujur.

Apakah kita benar-benar bisa menyediakan makanan bergizi dengan anggaran sekecil itu?

Apakah kita siap dengan sistem distribusi yang menjamin setiap piring yang sampai ke rakyat tetap sehat, segar, dan berkualitas?

Apakah kita telah menyiapkan mekanisme pengawasan yang ketat agar program ini tidak menjadi lahan empuk bagi para pemburu rente?

Dalam filsafat Yunani, Plato pernah berkata, “A good decision is based on knowledge and not on numbers.” Keputusan yang baik bukan diambil berdasarkan angka-angka semata, tetapi berdasarkan pemahaman yang mendalam akan realitas di lapangan.

Jika kita ingin program ini sukses, kita harus melangkah mundur sejenak. Menunda bukan berarti gagal, justru itu adalah bentuk keberanian untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar menuju keberhasilan.

Pemerintah perlu berkata jujur kepada rakyat: Program ini harus ditunda sementara untuk dipersiapkan dengan lebih matang. Ini bukan tentang membatalkan janji, tetapi tentang memastikan janji itu benar-benar ditepati dengan kualitas terbaik.

Rakyat akan lebih menghargai pemimpin yang bersikap realistis dan bertanggung jawab, daripada yang memaksakan sesuatu hanya demi mengejar tenggat waktu politik.

Presiden Prabowo, sebagai seorang pemimpin yang dikenal tegas dan berprinsip, memiliki kesempatan untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya soal memenuhi janji kampanye, tetapi juga soal menjaga amanah dengan penuh kehati-hatian.

Dengan pengumuman yang jujur dan transparan, rakyat akan mengerti bahwa satu tahun penundaan bukanlah pengkhianatan, melainkan upaya untuk memastikan bahwa saat program ini akhirnya berjalan, ia benar-benar menjadi Makan Gizi Gratis yang bergizi, bukan sekadar slogan kosong.

Sebagaimana pepatah lama mengatakan, “Pelan tapi pasti lebih baik daripada cepat tapi hancur di tengah jalan.”

Jika pemerintah berani mengambil langkah ini, maka ia tidak hanya menyelamatkan programnya, tetapi juga mengukuhkan kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Dan bukankah itu yang lebih berharga daripada sekadar memulai sesuatu dengan tergesa-gesa?

Jalu369

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *