Dilema Penataan Pasar, Antara Ketertiban Kota dan Perlawanan Pedagang. (Foto: Rhamdani).
Cianjur | Bentrokan di Pasar Bojong Meron menguak dilema klasik yang dihadapi pemerintah daerah: menata kota agar tertib dan modern versus menghadapi resistensi dari warga yang merasa hak ekonominya terganggu.
Pemerintah Kabupaten Cianjur, melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian, bersikukuh bahwa relokasi adalah bagian dari program penataan kawasan yang lebih besar.
“Lokasi baru sudah dilengkapi fasilitas parkir yang luas, sanitasi yang baik, dan sistem pengelolaan sampah. Ini untuk kenyamanan bersama dan menciptakan image pasar tradisional yang bersih,” jelas Kadis Dagin dalam rilis resmi.
Namun, niat baik itu terbentur pada implementasi di lapangan. Kepala Satpol PP, Djoko Purnomo, mengaku sudah melakukan pendekatan persuasif.
“Kami punya tugas untuk menertibkan. Pedagang yang berjualan di bahu jalan jelas mengganggu kelancaran lalu lintas dan kebersihan. Ini aturan,” tegasnya.
Di sisi lain, sikap pemerintah dinilai terlalu birokratis dan kurang empati. Pemberian surat pemberitahuan dianggap tidak cukup tanpa dialog yang melibatkan aspirasi pedagang.
“Ini soal cara. Apakah yang diutamakan, tertibnya pasar atau hidupnya para pedagang? Seharusnya kedua-duanya bisa berjalan,” kata Ketua LSM Cianjur Peduli, Ahmad Faisal.
Insiden ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah tentang pentingnya komunikasi dua arah dan pendekatan humanis dalam setiap kebijakan publik, terutama yang menyentuh langsung hajat hidup orang banyak.












