Carut Marut Tata Niaga Beras dan Kejatuhan Pedagang Kecil

Carut Marut Tata Niaga Beras dan Kejatuhan Pedagang Kecil

Oleh : Luqmanjalu 369

Di negeri agraris ini, ironi terbesar justru terjadi pada komoditas yang paling vital: beras. Negara yang katanya menjunjung kedaulatan pangan justru menciptakan ketakutan di pasar beras bukan karena kelangkaan, melainkan karena ketidakpastian hukum, kebijakan yang tidak utuh, dan campur tangan yang terlalu dalam namun tanpa arah yang jelas.

Kasus beras oplosan yang baru-baru ini mencuat ke permukaan adalah puncak gunung es dari kekacauan panjang tata niaga beras di Indonesia. Data resmi dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa dari 268 merek beras kemasan yang diuji di 13 laboratorium, 212 merek ditemukan bermasalah. Bahkan, 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen kekurangan timbangan.

Masyarakat tentu marah. Tapi kemarahan ini diarahkan pada pedagang kecil, bukan pada akar persoalannya: sistem yang absurd. Pemerintah bersikap reaktif dengan menurunkan Satgas Pangan, Kejaksaan, hingga Bapanas untuk menyisir gudang dan menarik merek-merek yang dianggap curang. Namun tak ada satupun evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan itu sendiri, HET diberlakukan secara kaku tanpa menghitung fluktuasi harga gabah di tingkat petani, biaya produksi, margin usaha, dan variasi mutu hasil panen.

Negara menetapkan harga jual, tapi membiarkan harga bahan baku mengambang. Pemerintah mengatur mutu, tapi membiarkan rantai pasok tidak transparan. Dalam situasi seperti ini, pelaku usaha mikro dan menengah tak punya banyak pilihan, berinovasi atau bertahan di zona rugi. Maka yang terjadi adalah adaptasi dan adaptasi inilah yang kemudian dicap sebagai “pengoplosan.”

Tapi benarkah semua pencampuran beras adalah kejahatan? Dalam dunia industri beras, istilah “broken” atau beras patah bukanlah sesuatu yang asing. Bahkan definisi teknis tentang premium dan medium pun diatur dengan parameter patahan. Dalam Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2 Tahun 2023 disebutkan bahwa beras premium boleh memiliki broken hingga 15 persen. Artinya, mencampur beras kepala dengan broken dalam kadar tertentu justru merupakan standar industri.

Masalahnya, siapa yang menentukan kadar campuran ini? Dan bagaimana mekanisme pengawasannya? Jawaban yang tidak konsisten dari negara justru menimbulkan ketakutan massal: pedagang menjadi waswas menjual beras, pelaku usaha takut dikriminalisasi, dan konsumen bingung siapa yang bisa dipercaya. Alih-alih memperkuat kedaulatan pangan, negara justru menciptakan atmosfer dagang yang represif.

Kebijakan ini telah memukul telak para pedagang kecil dan menengah. Ketika harga gabah naik pasca panen raya, mereka tidak bisa menyesuaikan harga jual karena terikat HET. Akibatnya, margin keuntungan tergerus, likuiditas memburuk, dan sektor perdagangan beras menjadi medan penuh jebakan. Dalam sistem ini, hanya para pemain besar yang selamat mereka yang bisa memainkan kuota, pengadaan, bahkan retorika kehumasan, sambil mengamankan posisi dalam lingkaran kuasa.

Yang paling merugi tetap rakyat. Konsumen dipaksa membeli beras yang tidak sesuai label, dengan harga yang terus naik. Sementara pelaku usaha kecil yang seharusnya menjadi mitra dalam sistem distribusi justru dihantam aturan yang tidak memberi ruang untuk berkembang. Inilah bentuk kegagalan negara dalam memahami ekosistem pangan secara utuh.

Jika pemerintah serius ingin memperbaiki tata niaga beras, langkah pertama yang harus dilakukan bukanlah memburu pedagang dengan dalih pengawasan mutu. Tetapi mengevaluasi seluruh sistem dari hulu ke hilir: mulai dari harga gabah, biaya produksi, hingga logika penetapan HET yang harus berbasis data dan realitas lapangan, bukan sekadar regulasi administratif.

Tanpa perbaikan sistemik, seluruh kampanye penegakan mutu hanya akan menjadi alat pencitraan. Pedagang kecil akan terus dikorbankan. Rakyat akan terus membayar mahal untuk beras yang tidak bermutu. Dan negara akan tetap gagal menjaga keadilan dalam distribusi pangan.

Saatnya kita berhenti menyalahkan gejala dan mulai membenahi akar persoalan. Karena pangan bukan hanya soal logistik dan mutu, tapi soal keadilan dan keberpihakan.

Litbang LAKPAN (Lembaga Kajian Konsumen Pangan Nusantara).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *