Balik “Solidaritas”, Penerima Bantuan Sosial di Cianjur Merasa Terpaksa “Menyumbang”
Cianjur | Aroma solidaritas warga ternyata terasa pahit di mulut sebagian penerima bantuan sosial (bansos) di Desa Sukamaju, Kecamatan Cibeber, Cianjur. Kebijakan pemotongan dana bansos sebesar Rp 100.000 per orang untuk “modus kemanusiaan” menuai dilema.
Di satu sisi, mereka ingin membantu tetangga yang sakit, di sisi lain, uang yang dipotong itu sangat berarti untuk memenuhi kebutuhan harian mereka.
“Saya sebenarnya keberatan, tapi mau bagaimana lagi? Ini seperti kewajiban. Takut dikira tidak punya rasa sosial,” ujar Sari (bukan nama sebenarnya), salah satu penerima Bantuan Keluarga Penerima Manfaat (KPM), dengan suara lirih.
Ia mengaku tidak berani menolak ketika ketua RT-nya menyampaikan instruksi dari Kepala Desa.
Instruksi yang disebarkan via pesan suara WhatsApp itu meminta para KPM menerima pemotongan dana tersebut sebagai bentuk tolong-menolong. Namun, bagi Sari dan beberapa warga lainnya, ketiadaan musyawarah dan transparansi membuat “sumbangan” ini terasa dipaksakan.
“Kita ini penerima bantuan, artinya memang sedang kesulitan. Seratus ribu itu untuk beli lauk, minyak, atau bayar listrik. Kalau harus disetor dengan alasan yang tidak jelas kemana uangnya, ya jadi berat hati,” keluhnya.
Kebijakan yang telah berlangsung lama dan menyasar 299 KPM ini menyisakan tanda tanya besar: sejauh mana penderitaan warga yang menengah ke bawah ini dijadikan alat untuk menutupi ketiadaan mekanisme bantuan sosial yang transparan dari desa?.













