Sarapan Gratis: Mimpi dan Realitas di Balik Sepiring Nasi Uduk

Jakarta, kota penuh harapan dan hiruk-pikuk, kini menyambut wacana program sarapan gratis bagi siswa. Program ini, digagas oleh Pemprov Jakarta, tampak seperti sinar pagi yang memecah gelapnya keprihatinan akan gizi anak-anak sekolah.

Sarapan, makanan pertama manusia sejak zaman pemburu-pengumpul era prasejarah, kini menjadi perhatian politik modern. Dari roti gandum kasar Mesir hingga nasi uduk ibu-ibu UMKM Jakarta, sarapan membawa cerita panjang sejarah dan kini dihidangkan kembali di meja kebijakan.

Pemprov Jakarta merancang program ini untuk menjangkau hampir 1,2 juta siswa SD hingga SMA. Dengan asumsi satu porsi sarapan dihargai Rp10.000, total anggaran yang diperlukan mencapai Rp12 miliar per hari. Jika dihitung selama satu tahun ajaran, anggaran ini menembus Rp2,4 triliun. Angka yang fantastis, cukup untuk membeli satu stadion megah atau beberapa gelas kopi overpriced di mal pusat kota—pilihan memang selalu menarik perhatian manusia.

Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana memastikan setiap rupiah dari triliunan ini benar-benar sampai ke mulut anak-anak yang butuh energi untuk belajar? Di negeri dengan sejarah panjang korupsi birokrasi, kita sering kali lebih percaya bahwa nasi uduk bisa terbang ketimbang sebuah program pemerintah berjalan sempurna. Ironi seperti ini membuat kita tersenyum getir, tapi juga bertanya: apa yang terjadi jika nasi uduk ini tiba-tiba berubah jadi sekadar nasi putih tanpa lauk?

Mari kita analisis teknis pelaksanaan. Pemerintah berencana menggandeng UMKM lokal untuk menyediakan makanan. Langkah ini cerdas—memberdayakan ekonomi sekaligus memastikan menu lebih variatif dan segar. Tapi, di sini juga letak potensi masalahnya. Bayangkan ada oknum yang “memotong” anggaran sepanjang rantai distribusi hingga nasi uduk berubah jadi sesuatu yang hanya pantas disebut “nasi melankolis.” Anak-anak makan sambil bertanya, “Bu, kenapa telur dadarnya cuma setipis tisu?”

Sementara itu, di luar sekolah-sekolah dengan program gizi ini, anak-anak jalanan hanya bisa menatap dari kejauhan. Mereka tidak masuk daftar penerima nasi uduk pemerintah. Bagi mereka, pagi adalah waktu untuk menghirup asap knalpot, bukan aroma lauk pauk. Mungkin jika mereka beruntung, ada remah roti tersisa dari penumpang metromini yang terburu-buru. “Gratis? Itu barang langka,” kata mereka dalam hati, sambil menatap poster besar gubernur yang menjanjikan kesejahteraan.

Dan, jangan lupa, ada ancaman bahwa program ini mungkin berhenti di tengah jalan. Sejarah program pemerintah kita penuh dengan cerita seperti serial TV—satu musim berakhir tanpa kepastian akan ada kelanjutannya. Potensi ini besar jika terjadi pergantian pemimpin atau, lagi-lagi, dana tersedot ke proyek yang entah bagaimana lebih “penting.” Anak-anak kita akan kembali ke bekal seadanya, yang dimasak pagi-pagi buta oleh ibu-ibu yang tetap setia meski anggaran pemerintah hilang entah ke mana.

Namun, di balik semua ironi dan ancaman ini, program sarapan gratis tetap sebuah langkah maju. Ini bukan hanya soal nasi uduk atau bubur ayam; ini tentang menciptakan generasi yang lebih sehat dan siap menghadapi dunia. Jika program ini berhasil, mungkin suatu hari nanti kita bisa merenung dengan senyum di wajah: bahwa Jakarta, dengan segala kekurangannya, mampu memberikan sesuatu yang berarti.

Dan untuk anak-anak jalanan? Ah, mungkin kita bisa mengusulkan program sarapan “versi rakyat jalanan” dengan nasi bungkus ala warteg. Setidaknya, mereka bisa ikut merasakan mimpi sederhana yang saat ini hanya menggantung di langit-langit angan mereka. Sampai saat itu tiba, mari kita jaga program ini agar tidak berubah menjadi komedi tragis di atas panggung politik ibu kota. Sebab, seperti kata pepatah: “Sarapan adalah raja dari semua makan. Tapi kalau anggarannya bocor, raja pun bisa jatuh miskin.”

Jalu369

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *