Piala Dunia 2026, Antara Euforia dan Bayang-bayang Kegagalan

Oleh : Sarman El Hakim, Lukman Jalu, Bosman Lanusi, John Fresly.

Sepak bola adalah bahasa universal, yang dalam perjalanan nya, melampaui batas negara, agama, dan ideologi, menjadi ruang di mana perbedaan melebur dalam satu gairah.

Namun, di tengah impian besar Piala Dunia 2026 yang dijanjikan sebagai turnamen terbesar dalam sejarah FIFA, ada bayang-bayang yang mengancam keberlangsungannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada mungkin telah dipilih sebagai tuan rumah, tetapi dunia tidak hanya berbicara tentang stadion megah atau format 48 tim yang revolusioner.

Saat ini, masyarakat dunia tengah bertanya: Akankah Piala Dunia 2026 benar-benar bisa terselenggara sesuai rencana?

Sejarah telah mencatat bahwa Piala Dunia pernah gagal terselenggara di tahun 1942 dan 1946, akibat Perang Dunia II yang mengoyak peradaban manusia.

Sepak bola harus menyerah pada kepentingan politik dan kehancuran global. Kini, lebih dari 80 tahun setelah tragedi itu, tanda-tanda yang serupa kembali mengintai.

Jika ada satu hal yang bisa menggagalkan Piala Dunia, maka itu bukanlah soal stadion atau sponsor, melainkan gejolak dunia yang semakin tak terkendali.

Ketegangan antara Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada sudah cukup menjadi ancaman tersendiri. Apa yang seharusnya menjadi simbol persatuan di Amerika Utara justru semakin tampak rapuh oleh berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan yang tidak harmonis.

Amerika memperketat kebijakan imigrasi, membebankan tarif impor tinggi, dan memperlakukan Meksiko sebagai pagar pembatas daripada mitra sejajar.

Di sisi lain, Kanada mulai mengambil jarak dari kebijakan proteksionisme Amerika yang bisa mengancam kestabilan ekonominya. Di tengah relasi yang kian panas ini, bagaimana mungkin tiga negara bisa menyelenggarakan turnamen yang memerlukan koordinasi sempurna?

Tapi, ada bahaya yang lebih besar dari sekadar ketegangan regional. Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, kini membuka peluang untuk melakukan intervensi militer di Gaza.

Ini bukan sekadar isu politik lokal, melainkan langkah yang dapat menyalakan api di seluruh dunia. Gaza bukan hanya tentang wilayah atau strategi perang, tetapi simbol dari perlawanan dan solidaritas global.

149 negara telah mengakui kemerdekaan Palestina, dan jika Amerika benar-benar melancarkan invasi, bukan tidak mungkin Piala Dunia 2026 akan menjadi korban dari gelombang boikot terbesar dalam sejarah olahraga modern.

Sejarah sudah memberikan contoh. Di Olimpiade Moskow 1980, lebih dari 60 negara memboikot sebagai bentuk protes terhadap invasi Uni Soviet ke Afghanistan.

Jika negara-negara Muslim, Afrika, dan sebagian Eropa memutuskan bahwa bermain di Amerika Serikat setelah invasi ke Gaza adalah bentuk ketundukan pada imperialisme, maka Piala Dunia 2026 bisa kehilangan separuh pesertanya sebelum turnamen dimulai.

Apakah FIFA siap menghadapi kenyataan bahwa turnamen ini bisa berakhir sebagai piala dunia tanpa dunia?

Bukan hanya soal boikot, ancaman keamanan di Amerika juga menjadi perhatian utama. Invasi ke Gaza akan meningkatkan ketegangan dengan negara-negara Muslim, membuka peluang serangan teroris yang meningkat di wilayah AS selama turnamen berlangsung.

Stadion yang seharusnya menjadi panggung kemenangan bisa berubah menjadi target serangan, sementara jutaan suporter yang ingin menikmati sepak bola justru harus khawatir akan keselamatan mereka. FIFA mungkin bisa mengendalikan aturan main di lapangan, tetapi mereka tidak akan pernah bisa mengendalikan amarah dunia.

Dan di antara semua ini, ada satu kejanggalan lain. Piala Konfederasi—turnamen pemanasan yang biasanya menjadi ajang promosi utama sebelum Piala Dunia—dihapuskan tanpa pengganti yang jelas.

Tanpa Piala Konfederasi, tidak ada kesempatan bagi tim-tim nasional untuk mengenal atmosfer dan infrastruktur di tiga negara tuan rumah.

Tidak ada uji coba kesiapan stadion, sistem transportasi, atau mekanisme penyelenggaraan. Semua akan dijalankan dalam ketidaktahuan, tanpa kepastian apakah segala sesuatunya akan berjalan lancar.

Mungkin bagi FIFA, semua ini hanyalah kekhawatiran yang tidak berdasar. Mereka tetap melangkah maju, percaya bahwa sepak bola lebih besar dari politik dan peperangan. Tetapi sejarah berbicara lain.

Piala Dunia hanya bisa terselenggara ketika dunia cukup damai untuk menikmatinya. Dan saat ini, dunia sedang berjalan menuju arah yang berlawanan.

Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada mungkin telah dipilih sebagai tuan rumah. Tapi pertanyaannya bukan lagi tentang stadion mana yang akan digunakan, melainkan apakah akan ada Piala Dunia 2026 yang bisa dinikmati dunia.

Jika konflik semakin memanas, jika boikot semakin nyata, dan jika keamanan semakin sulit dikendalikan, maka Piala Dunia 2026 bisa menjadi turnamen yang tidak pernah terjadi—seperti tahun 1942 dan 1946.

Sepak bola memang lebih dari sekadar permainan. Tetapi bahkan permainan ini tidak bisa bertahan ketika dunia runtuh.

Jakarta, 7 Februari 2025 TIM Masyarakat Sepakbola Indonesia (MSBI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *