Manajemen Talenta dan Panggung Kekuasaan di Jakarta Di Antara Idealitas Meritokrasi dan Realitas Ordal
Jakarta tak pernah hanya menjadi kota administratif, cermin kekuasaan, panggung tempat berbagai aktor politik, birokrasi, dan ekonomi memainkan peran-perannya dalam narasi besar republik ini.
Ketika Gubernur Pramono Anung meluncurkan kebijakan manajemen talenta bagi para ASN di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, sorotan pun datang bukan hanya dari dalam gedung Balai Kota, tetapi juga dari ruang-ruang diskusi publik, partai-partai politik, hingga koridor DPRD Kebon Sirih yang selama ini menjadi penyangga sekaligus penantang kekuasaan eksekutif.
Beberapa fraksi di DPRD menyatakan dukungannya. Namun, sebagaimana kerap terjadi dalam politik ibukota, dukungan itu kadang datang bersamaan dengan harapan bahkan tekanan agar kepentingan politik juga terakomodasi.
Maka, walau retorika anti-ordal digaungkan, publik tetap menyimpan keraguan: apakah semangat meritokrasi ini akan sungguh-sungguh menjadi gerakan reformis, atau hanya ornamen administratif dalam panggung kekuasaan yang tetap dikendalikan dari belakang layar?
Dalam konteks sejarah birokrasi Jakarta, kritik terhadap budaya “orang dalam” menyentuh akar masalah yang sudah terlalu lama hidup. Jabatan sering diisi bukan karena kecakapan, tetapi karena kedekatan.
Bukan karena prestasi, tetapi karena kemampuan untuk menavigasi lobi kekuasaan. Ini bukan hanya terjadi di tingkat kepala dinas, tapi bahkan menjalar hingga ke level kepala bidang dan subkoordinator.
Praktik ini sudah terlalu membudaya untuk sekadar disapu bersih dengan satu kebijakan manajemen talenta.
Sejak era Gubernur Ali Sadikin pada 1960-an, Jakarta mulai menunjukkan tanda-tanda menjadi kota yang mengandalkan birokrasi modern.
Bang Ali merekrut teknokrat dan profesional, membuka ruang bagi militansi kerja dan kapasitas. Namun sejak Orde Baru mengambil alih ritme kekuasaan, birokrasi di Jakarta pun menjadi bagian dari struktur patrimonialisme nasional.
Jabatan-jabatan strategis tak lagi sekadar soal kompetensi, tetapi juga restu kekuasaan pusat—atau kekuatan-kekuatan politik yang memiliki investasi politik dan ekonomi di ibu kota.
Pasca reformasi, kita menyaksikan geliat baru meritokrasi dalam format yang lebih formal, sistem rekrutmen terbuka, KASN, hingga open bidding. Tetapi sekali lagi, sistem formal tidak selalu membawa transformasi substansial.
Open bidding terlalu sering hanya jadi panggung legitimasi, tempat hasilnya sudah ditebak sejak awal. Prosedurnya rapi, tetapi substansinya tetap bisa dinegosiasikan. Maka ketika manajemen talenta diperkenalkan sebagai solusi, harapan muncul, namun disertai keraguan yang tidak bisa dipungkiri.
Jika dikelola secara serius, manajemen talenta adalah pintu masuk yang menjanjikan untuk membongkar praktik birokrasi patronase. Di sini, ASN dinilai bukan semata dari hasil kerja masa lalu, tetapi dari kapasitas masa depan: kompetensi, potensi kepemimpinan, kemampuan inovasi.
Mereka yang selama ini tersembunyi karena tak punya jalur koneksi bisa mendapatkan akses promosi yang lebih adil. Namun idealitas itu hanya bisa hidup jika dibarengi dengan keberanian politik sebuah kekuatan yang sering kali kalah dalam tawar-menawar kekuasaan, dan memang, tantangan itu nyata.
Jakarta bukan kota biasa. Ia adalah pusat kekuasaan dengan APBD terbesar di Indonesia. Setiap jabatan struktural menyimpan peluang, baik peluang melayani maupun peluang berkuasa.
Dalam praktiknya, komunikasi informal antara pejabat eksekutif dan anggota DPRD kerap tidak berhenti pada pembahasan program kerja, tetapi juga masuk ke wilayah penempatan pejabat.
Politik anggaran, mutasi jabatan, hingga lelang proyek semuanya menjadi komoditas dalam relasi kuasa yang tidak tercatat dalam berita acara, tapi hidup dalam praktik harian birokrasi.
Relasi antara ASN dan para politisi di Kebon Sirih pun bukan sekadar relasi administratif, tapi relasi transaksional.
Di banyak dinas strategis, jabatan dipandang sebagai “pos” untuk mengamankan program, jaringan, dan terkadang secara terselubung kepentingan kelompok.
Dalam konteks ini, manajemen talenta akan terbentur, bahkan bisa lumpuh, jika tidak dijaga oleh sistem yang kuat, transparan, dan independen.
Lalu, mungkinkah sistem ini berhasil di Jakarta? Jawabannya: mungkin. Tapi bukan hanya dengan regulasi, melainkan dengan membangun kultur.
Diperlukan rekayasa institusional yang cermat, dengan pembentukan dewan pengawas independen, integrasi sistem digital berbasis keterbukaan, dan pelibatan masyarakat sipil sebagai penyeimbang. Bahkan DPRD pun sebaiknya dilibatkan secara terang, bukan dalam negosiasi nama, tapi dalam pengawasan kinerja.
Jakarta perlu membangun narasi baru: bahwa jabatan bukan hadiah, tapi amanah. Bahwa ASN tidak bekerja untuk partai atau individu, melainkan untuk konstitusi dan kepentingan warga. Bahwa untuk menjadi kota global, Jakarta harus lebih dulu menyembuhkan luka dalamnya sendiri: luka dari birokrasi yang terlalu lama dikendalikan oleh kompromi politik, bukan oleh integritas pelayanan.
Mengutip John Rawls dalam Theory of Justice, keadilan sosial hanya mungkin tumbuh jika peluang-peluang dasar didistribusikan secara adil. Maka manajemen talenta harus lebih dari sekadar jargon birokrasi. Ia harus menjadi instrumen keadilan, transformasi sosial, dan perbaikan mendasar dalam tubuh pemerintahan.
Jakarta memang tak bisa sepenuhnya lepas dari politik. Tapi ia bisa memperkuat kualitas etik dalam politik birokrasi. Dan mungkin, dari kota inilah, semangat meritokrasi sejati bisa kembali disulut dan menyala terang.
Jalu369








