“Ketika Piring Rakyat Dikhianati: Cadangan Melimpah, Harga Meroket, dan Beras Dioplos”
Oleh: Lembaga Kajian Konsumen Pangan Nusantara (LAKPAN).
Jakarta sedang menghadapi keganjilan besar dalam ekosistem pangannya. Di tengah puja-puji terhadap keberhasilan pemerintah menjaga cadangan beras yang diklaim sebagai tertinggi sepanjang sejarah menyentuh angka 4 juta ton per akhir Mei 2025 harga beras justru menunjukkan arah sebaliknya melonjak, tak terkendali, dan menghantam keras piring-piring rakyat kecil.
Rekam jejak datanya tidak bisa diabaikan. Per 13 Mei 2025, Bulog mencatat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 3,7 juta ton. Dua pekan kemudian, stok naik menjadi lebih dari 4 juta ton. Ini bukan prestasi kecil. Ini adalah tonggak sejarah yang secara logika paling dasar seharusnya memberi dampak positif ke harga pasar. Namun, realitas yang terjadi justru paradoks: harga beras medium di pasar tradisional DKI Jakarta tembus Rp14.000 hingga Rp16.000/kg. Tidak hanya jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, tapi juga menciptakan ironi sosial yang menyakitkan gudang melimpah, tapi dapur rakyat tetap sesak.
Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional, mencoba meredam kegelisahan publik dengan narasi yang sudah terlalu sering kita dengar. Harga gabah petani naik. Biaya distribusi mahal. Panen bergeser. Jalan macet. Argumen ini mungkin relevan, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan mengapa surplus cadangan tidak mampu menyentuh stabilitas harga. Karena pada titik ini, masalahnya bukan lagi logistik, melainkan sistemik.
Dan sistemik itulah yang terbukti, ketika Satgas Pangan Polri mengumumkan hasil investigasinya. Dari 268 sampel beras kemasan premium yang diuji di berbagai daerah, 212 di antaranya tidak memenuhi standar. Beberapa di antaranya bahkan ditemukan melakukan praktik pengoplosan: mencampur beras subsidi SPHP yang seharusnya diperuntukkan bagi program perlindungan sosial dengan beras biasa, mengemas ulang, memberi label premium, lalu menjual dengan harga jauh di atas nilai wajar.
Yang mengejutkan bukan hanya skema penipuannya, tapi juga siapa yang terseret dalam pusaran itu. PT Food Station Tjipinang Jaya sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemprov DKI Jakarta—ikut masuk dalam daftar entitas yang diperiksa oleh Satgas Pangan. Sebuah lembaga yang selama ini dianggap sebagai garda terdepan dalam menjaga kestabilan pasokan pangan warga ibu kota, kini harus berhadapan dengan keraguan publik soal integritas dan akuntabilitasnya.
LAKPAN tidak akan gegabah menghakimi. Tapi fakta-fakta yang telah disampaikan ke publik tidak boleh disikapi dengan diam, atau dibungkus dengan klarifikasi yang tidak menjawab substansi. Rakyat butuh transparansi, bukan pernyataan pers yang dikurasi. Food Station, sebagai lembaga publik yang dibiayai dari uang rakyat, wajib membuka seluruh proses perberasan mereka: dari mana beras diserap, siapa mitra penggilingan dan pengemasnya, bagaimana kontrol mutunya dilakukan, dan ke mana saja distribusi berasnya disalurkan.
Ini adalah soal kepercayaan. Dan dalam hal pangan, kepercayaan bukan sesuatu yang bisa dibangun dari konferensi pers—tetapi dari data, bukti, dan keberanian untuk diperiksa secara terbuka.
Jika betul Food Station tidak terlibat langsung, maka audit menyeluruh adalah langkah bijak yang justru akan membersihkan nama baik mereka. Tetapi jika memang ditemukan kelalaian sistemik atau keterlibatan mitra yang tak layak dipercaya, maka tidak ada pilihan lain selain mengambil tindakan tegas—termasuk jika perlu, mengganti seluruh jajaran pimpinan sebagai bentuk sikap ksatria dan tanggung jawab publik.
Kita tidak sedang bicara soal korporasi. Kita sedang bicara tentang institusi negara yang mengelola salah satu kebutuhan dasar rakyat: pangan. Jika beras pun bisa dimanipulasi oleh sindikat, lalu apa lagi yang tersisa untuk rakyat yang tidak punya kuasa? Apakah kita akan terus membiarkan meja makan rakyat dijadikan arena tipu daya?
Keadilan pangan tidak akan pernah hadir selama aktor-aktor yang seharusnya menjaga, justru terjebak dalam jejaring kepentingan. LAKPAN menyerukan agar audit dilakukan tanpa kompromi, investigasi dituntaskan tanpa intervensi, dan sistem pangan dibersihkan dari aktor-aktor yang bermain dalam senyap. Karena jika rakyat harus beli beras oplosan dengan harga premium, maka negara telah gagal memenuhi tanggung jawab dasarnya.
Dan bila itu yang terjadi, maka kita tidak sedang hidup dalam surplus, tapi dalam krisis moral.
Lembaga Kajian Konsumen Pangan Nusantara (LAKPAN)
Jakarta, 15 Juli 2025








