Oleh: Sylvia Novita Angelina (Mahasiswa Magister Kenotariatan UGM).
Di tengah tuntutan efisiensi dan mobilitas para pihak, praktik pengiriman minuta akta oleh notaris kepada klien untuk ditandatangani di luar kantor makin sering terjadi. Tujuannya bisa beragam: keterbatasan waktu, lokasi yang jauh, atau kesibukan penghadap. Namun, praktik ini menyisakan persoalan hukum yang serius apakah akta yang ditandatangani di luar kehadiran notaris tetap sah? Juga sejauh mana notaris bisa dimintai pertanggungjawaban?.
Praktik kenotariatan di Indonesia sering kali bergulat antara kebutuhan efisiensi klien dan kewajiban prosedural yang melekat pada profesi notaris. Salah satu kebiasaan yang cukup marak adalah pengiriman minuta akta kepada para pihak untuk ditandatangani di luar kantor notaris.
Meskipun terlihat praktis, tindakan ini menimbulkan persoalan hukum serius karena secara prinsip melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris, khususnya mengenai kehadiran notaris dalam proses penandatanganan. Hal ini memicu pertanyaan krusial: masihkah akta tersebut sah sebagai akta otentik jika ditandatangani tanpa kehadiran notaris?.
Banyak pihak belum menyadari bahwa keotentikan sebuah akta tidak semata-mata ditentukan oleh isi dan formatnya, tetapi juga oleh prosedur pembuatannya. Kehadiran para pihak secara fisik di hadapan notaris saat penandatanganan merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar. Jika syarat ini diabaikan, maka akta yang dihasilkan kehilangan sifat otentiknya dan hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan. Konsekuensinya bukan hanya administratif, tetapi juga berdampak pada kekuatan pembuktian akta dan potensi sanksi terhadap notaris yang melanggar.
Legalitas Akta Otentik dalam Hukum Indonesia
Pasal 1868 KUHPerdata menjelaskan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang. Dalam konteks notariat, ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang menyebutkan bahwa notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dan disaksikan oleh notaris sendiri serta dua orang saksi, kemudian ditandatangani di hadapan notaris oleh semua pihak.
Kehadiran fisik para penghadap bukan sekadar formalitas administratif. Ia merupakan bagian dari proses pembuktian hukum. Dengan hadirnya para pihak, notaris dapat memastikan bahwa para penghadap memahami isi akta, tidak berada dalam tekanan, dan memberikan persetujuan secara bebas. Tanpa kehadiran itu, fungsi notaris sebagai penjaga ketertiban hukum dalam masyarakat menjadi lemah. Bahkan dalam banyak kasus dapat dianggap sebagai akta bawah tangan.
Praktik Menyimpang: Penandatanganan di Luar Hadapan Notaris
Sayangnya, banyak notaris tergoda untuk mempermudah prosedur dengan mengirimkan minuta akta kepada para pihak untuk ditandatangani di luar kantor. Praktik ini secara tegas bertentangan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan berisiko mengubah akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Akibatnya, kekuatan pembuktiannya menjadi lebih lemah secara hukum serta rentan dibatalkan di pengadilan.
Menurut Habib Adjie, akta yang tidak dibacakan dan ditandatangani di hadapan notaris kehilangan keotentikannya karena tidak memenuhi ketentuan formil sebagaimana diatur dalam UUJN. Implikasinya tidak main-main: akta tersebut tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian sempurna, dan bisa digugurkan di hadapan hakim hanya karena cacat prosedural.
Ilustrasi Kasus: Peralihan Kepengurusan CV Sebagai contoh, Putusan PN Samarinda No. 190 Pdt.G 2022 PN.SMR terdapat kasus di mana akta peralihan kepengurusan suatu persekutuan komanditer (CV) dibuat oleh notaris, namun ditandatangani oleh para pihak secara terpisah—sebagian besar tidak di hadapan notaris. Akta itu kemudian digunakan untuk mendaftarkan perubahan ke Kementerian Hukum dan HAM. Namun, ketika muncul sengketa, pengadilan memutus bahwa akta tersebut tidak sah secara hukum karena proses penandatanganannya tidak sesuai dengan ketentuan UUJN. Pengadilan menyatakan bahwa akta itu tidak dapat dijadikan alat bukti yang otentik, sehingga pembatalan administratif oleh otoritas dianggap sah.
Contoh ini menunjukkan bahwa pengabaian prosedur formil dapat membatalkan kekuatan hukum dari akta yang secara substansi tampak sah. Bahkan, akibatnya bisa merembet ke status kepemilikan atau kepengurusan badan hukum yang bersangkutan. Tanggung Jawab Notaris dan Risiko Etis.
Dalam praktik hukum di Indonesia, notaris memegang peran vital sebagai penjaga integritas proses legal melalui pemenuhan kewajiban formil yang ketat, seperti verifikasi identitas dan kehadiran para pihak. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) menegaskan bahwa tanggung jawab notaris terbatas pada aspek formil, bukan materiil. Oleh karena itu, selama seluruh prosedur dijalankan secara sah dan benar, notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas isi dokumen yang keliru akibat tindakan pihak ketiga yang beritikad buruk. Prinsip ini menjadi fondasi dalam membedakan peran notaris sebagai penjamin proses, bukan isi substansi akta.
Namun, pelanggaran terhadap kewajiban formil seperti pengiriman minuta untuk ditandatangani di luar kantor tanpa kehadiran notaris telah menjadi sorotan serius. Praktik ini jelas melanggar Pasal 16 UUJN dan berdampak pada status akta yang menjadi tidak otentik. Majelis Pengawas Notaris telah menjatuhkan sanksi berjenjang atas pelanggaran ini, mulai dari peringatan hingga pemberhentian tetap, terutama jika terbukti menimbulkan kerugian publik. Kasus PN Samarinda No. 190 Pdt.G 2022/PN.SMR memperlihatkan bahwa pelanggaran semacam itu bahkan dapat berujung pada dugaan pidana. Di era transaksi digital, keteguhan notaris dalam menjunjung prosedur tetap menjadi benteng utama perlindungan hukum.
Akibat Hukum bagi Para Pihak
Akta autentik adalah produk hukum yang lahir dari prosedur, bukan hanya dari isi kesepakatan. Ketika notaris mengabaikan kewajiban formalnya—meskipun dengan alasan praktis maka ia berisiko merusak keabsahan hukum akta dan merugikan pihak-pihak yang terlibat. Oleh karenanya bagi para pihak, menggunakan akta yang dibuat tanpa prosedur hukum yang benar menimbulkan risiko kerugian besar. Mereka tidak hanya kehilangan kekuatan pembuktian akta, tetapi juga berpotensi kehilangan perlindungan hukum terhadap perbuatan yang seharusnya sah secara substantif. Bahkan jika mereka beritikad baik, pengabaian terhadap ketentuan formil dapat membataikan seluruh transaksi.
Dalam praktik kenotariatan, asas kehati-hatian harus menjadi prinsip utama. Apapun bentuk atau urgensinya, proses hukum tidak boleh dikompromikan hanya karena alasan efisiensi. Sebab dalam hukum perdata, formalitas adalah bagian esensial dari validitas.
Penutup: Tegakkan Prosedur, Lindungi Keabsahan Akta
Notaris adalah pejabat umum yang diamanahi oleh negara untuk menjaga ketertiban hukum dalam masyarakat. Kepercayaan itu harus dibalas dengan kedisiplinan dalam menjalankan prosedur hukum, termasuk dalam hal penandatanganan akta.
Pengiriman minuta untuk ditandatangani di luar kantor bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merusak legitimasi profesi notaris. Karena itu, semua pihak, baik notaris maupun pengguna jasa, perlu memahami bahwa prosedur bukanlah beban, melainkan jaminan hukum.
Akta hanya akan memiliki kekuatan otentik bila dibuat, dibacakan, dan ditandatangani sebagaimana mestinya: di hadapan notaris, bukan lewat pos.
DAFTAR REFERENSI
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Pasal 16 ayat (1) huruf m.
2. Kusumaningrum, Endah. “Relevansi Pembacaan dan Penandatanganan Akta di Hadapan Notaris Dalam Pembuatan Akta Notaril Era Digital.” Tanjungpura Law Journal 7, no. 1 (2023): 50-64.
3. Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 205.
4. Putusan PN Samarinda No. 190 Pdt.G 2022/PN.SMR.
5. Embang, Thea Farina, and Elin Sudiarti. “Analisis Yuridis Penyimpanan Minuta Akta Notaris Secara Elektronik.” UNES Law Review 6, no. 1 (2023): 1217-1223.
6. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 152.
7. Marbun, Andi Putra. “Tanggung Jawab Yuridis Notaris dalam Penyimpanan Minuta Akta.” Media Bina Ilmiah 18, no. 2 (2023): 345-356.
8. Permenkumham RI No. 7 Tahun 2016 tentang Majelis Pengawas Notaris.
9. Halim, Yoefanca, Fricky Sudewo, and Tyas Fidelia. “Tanggung Jawab Notaris terhadap Ketidaksesuaian Akta Salinan dengan Minuta Akta.” Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 6, no. 2 (2019): 147-154.
10. Tjahjaningtyas, Kristien, Wira Franciska, and Putra Hutomo. “Tanggung Jawab Hukum Notaris terhadap Ketidaksesuaian Salinan Akta dengan Minuta.” Jurnal Hukum Indonesia 2, no. 3 (2023): 139-147.








