Hak Alam Yang Dihinakan

HAK ALAM YANG DIHINAKAN

Para pemikir lingkungan dari Barat dari Christopher D. Stone dengan gagasan Should Trees Have Standing?, hingga jaringan aktivis Earth Jurisprudence yang mendorong pengakuan Rights of Nature di Ekuador dan Selandia Baru berulang kali menegaskan prinsip sederhana. Alam bukan properti, melainkan subjek dengan hak inheren untuk eksis, memulihkan diri, dan hidup sebagaimana mestinya.

Konsep ini lahir dari krisis deforestasi, ekstraksi brutal, dan politik ekonomi yang memaksa ekosistem bekerja lebih keras daripada kapasitasnya. Mereka mengusulkan hukum yang menempatkan sungai, hutan, laut, dan tanah sebagai entitas dengan legal standing, karena hanya itu cara rasional untuk menghentikan negara dan korporasi dari memperlakukan alam seperti mesin ATM tanpa batas.

Ironisnya, jauh sebelum wacana itu meledak di ruang akademik dunia barat, seluruh suku besar di Nusantara sudah menerapkannya dalam laku hidup, bukan sekadar teori.

Baduy Dalam dengan pikukuh karuhun-nya yang melarang keras merusak hutan.

Dayak Iban dengan aturan Tana’krisi zona hutan larangan yang dijaga sebagai “organ hidup” komunitas;

Ammatoa Kajang dengan Pasang ri Kajang yang menegaskan “merusak hutan sama dengan merusak diri sendiri”.

Suku Kasepuhan dengan leuweung kolot sebagai wilayah sakral yang tak boleh disentuh.

Suku Marind di Papua yang menyebut hutan sebagai bagian dari tubuh leluhur mereka.

Semua ini bukan romantisasi budaya. Ini sistem hukum ekologis yang teruji ribuan tahun, dan semuanya berangkat dari premis yang sama dengan Rights of Nature: Alam punya hak, manusia punya batas. Ketika batas itu dilanggar, konsekuensinya bukan metafor. Ia konkret, terukur, dan menyakitkan.

Seperti banjir bandang yang menghancurkan tiga provinsi di Sumatera, dengan kerugian tercatat mencapai Rp 9,8 triliun. Nilainya setara dua kali lipat dari yang diklaim “keuntungan ekonomi” dari pembabatan hutan untuk perkebunan dan tambang di kawasan yang sama. Ini bukan bencana alam. Ini tagihan alam. Tagihan atas jutaan meter kubik kayu yang dipotong, bukit yang dikeruk, akar yang dicabut, sungai yang dipersempit, semua atas nama “pembangunan ekonomi”. Tagihan atas kebijakan yang menganggap hutan sebagai aset komersial yang harus “dioptimalisasi”, padahal logika ekonominya jebol kerugian ekologis jauh lebih tinggi daripada pendapatan yang dibanggakan.

Narasi bahwa “hutan adalah modal ekonomi negara” runtuh di hadapan data paling sederhana kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB tidak pernah melebihi 1%, sementara fungsi ekologis hutan menopang 100% kehidupan air, udara, tanah, iklim, dan ruang hidup manusia. Jika hutan dibongkar, yang dipanen bukan kemakmuran, tapi kuburan. Dan sumpah serapah rakyat yang kehilangan rumah, anak, dan masa depan.

Sementara para pelaku eksploitasi menyebut pembukaan hutan sebagai “pembangunan”, di lapangan kita menyaksikan mayat anak-anak tersangkut di batang pohon yang ditebang, rumah yang tersapu bersama lumpur dari lereng yang botak, jembatan runtuh karena sungai membalas tekanan dengan kekuatan penuh.

Ini bukan tragedi yang jatuh dari langit. Ini akibat keputusan manusia, kebijakan pemerintah, dan operasi korporasi yang menganggap alam bisa dinegosiasi. Alam tidak pernah diajak rapat, tapi selalu mendapat bagian paling pahit.

Hak alam bukan tema filosofis. Ia adalah batas keselamatan kita. Para leluhur Nusantara sudah menegakkan itu tanpa seminar. Barat merumuskannya dalam teori hukum modern. Namun negara dan elit ekonomi tetap saja menolaknya, karena hak alam berarti batas pada rakusnya manusia. Dan seperti semua yang ditindas, Alam menagih dengan cara yang paling jujur: lewat banjir bandang, longsor, dan kehancuran yang menunggu siapa pun yang menganggap hutan hanya deretan angka dalam laporan investasi.

Ketika hak alam tidak ditunaikan, alam menagih. Tagihannya tidak bisa dinegosiasi, tidak bisa dicicil, dan tidak bisa dilobi. Yang ada hanya peringatan paling telak: ketika hutan runtuh, rakyat hanyut; ketika alam kehilangan haknya, manusia kehilangan masa depannya.

Oleh: LuqmanJalu Co.Founder LSDI

Referensi;

Aiken, James, et al. Earth Jurisprudence: The Moral and Legal Case for Rights of Nature. London: Gaia Foundation, 2019.

Berkes, Fikret. Sacred Ecology. New York: Routledge, 2018.

Crist, Eileen, and H. Bruce Rinker, eds. Gaia in Turmoil: Climate Change, Biodepletion, and Earth Ethics in an Age of Crisis. Cambridge: MIT Press, 2009.

Ecuador Constitution. “Constitution of the Republic of Ecuador.” 2008. Articles 71–74 on Rights of Nature (Pachamama).

Forest Watch Indonesia. State of the Forest Indonesia Report. Jakarta: FWI, 2023.

Gaia Foundation. “Earth Jurisprudence: A Path to Living Law.” GaiaFoundation.org, 2022.

Hall, Andrew. Adat Forest Management in
Nusantara: Customary Law and Ecological Governance. Jakarta: KITLV Press, 2015.

Huma. Tana’ Ulen: Sistem Pengelolaan Hutan Adat Dayak Kenyah dan Iban. Jakarta: Perkumpulan HuMa, 2012.

ICEL (Indonesian Center for Environmental Law). “Deforestasi, Kebijakan dan Dampaknya terhadap Bencana Hidrometeorologi di Sumatera.” Laporan Kebijakan, 2024.

Kahar, Arman. “Pasang ri Kajang dan Perlindungan Hutan Adat Ammatoa.” Jurnal Antropologi Indonesia 41, no. 2 (2020): 105–122.

Kasepuhan Ciptagelar. Leuweung Kolot: Sistem Adat Pengelolaan Hutan Kasepuhan. Sukabumi: Institut Ekologi Budaya Kasepuhan, 2018.

McGee, Jeffrey, and Jackson, Sue. “Personhood Rights for Rivers: Global Movement and Legal Perspectives.” Annual Review of Law and Social Science 17 (2021): 127–146.

New Zealand Parliament. Te Awa Tupua (Whanganui River Claims Settlement) Act. Wellington, 2017.

Nur, Rabith Jihan. “Kearifan Lokal Baduy dalam Perlindungan Hutan Lewat Pikukuh Karuhun.” Wacana Hijau 12, no. 1 (2021): 55–70.

Peatland Restoration Agency (BRG). Hydrometeorological Disaster Loss Assessment for Sumatra. Jakarta: BRGM, 2024.

Sangaji, Arianto. “Hutan sebagai Subjek: Hak Alam dalam Kerangka Hukum Indonesia.” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 5, no. 1 (2023): 1–23.

Stone, Christopher D. Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects. New York: Oxford University Press, 2010.

Tempo. “Kerugian Banjir Bandang Sumatera Capai Rp 9,8 Triliun.” Tempo.co, 2024.

Walhi. Laporan Krisis Ekologis dan Deforestasi Nasional. Jakarta: Walhi Nasional, 2023.

Yuliana, Maria. “Hutan sebagai Tubuh Leluhur: Perspektif Kosmologis Suku Marind Papua.” Jurnal Etnobiologi Indonesia 8, no. 1 (2022): 34–49.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *