Bencana banjir dan longsor yang melanda Cianjur dan Sukabumi bukanlah sekadar “musibah alam.”
Air bah yang menghancurkan pemukiman dan merenggut nyawa ini adalah bukti telak dari tangan-tangan manusia yang tega mengoyak keseimbangan alam.
Hutan-hutan penyangga, yang semestinya menjadi pelindung dari derasnya hujan, kini telah botak, berubah menjadi lahan gundul.
Siapa yang harus bertanggung jawab? Kita tidak lagi bicara tentang illegal logging, tapi tentang izin-izin resmi yang dikeluarkan dengan mulus dan entah bagaimana caranya lolos dari logika kelestarian.
Izin penebangan kayu di kawasan hutan yang kritis tidak mungkin terbit tanpa campur tangan pemerintah daerah dan pusat. Pemda Cianjur, Pemda Sukabumi, Pemerintah Jawa Barat, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di era pemerintahan saat ini harus ikut duduk di kursi kecurigaan.
Hutan tidak mungkin lenyap tiba-tiba.
Setiap batang kayu yang ditebang mestinya punya jejak izin, nama perusahaan pemegang konsesi, dan alasan yang “terukur.” Sayangnya, data ini begitu tertutup, seolah rahasia yang disembunyikan rapat-rapat.
Apakah tidak ada yang berpikir bahwa hilangnya ratusan hektar tutupan hutan di kawasan penyangga akan memicu bencana?
Hutan adalah penopang keseimbangan ekosistem, akar-akar pohonnya mencegah longsor, dedaunannya menyerap hujan. Ketika hutan-hutan ini ditebang legal atau tidak bencana menjadi keniscayaan.
Parahnya, suara-suara kritis seringkali dibungkam dengan dalih “pembangunan” atau kepentingan ekonomi. Namun, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Bukan rakyat, karena yang kini kehilangan rumah dan nyawa adalah mereka yang hidup di hilir.
Bencana ini bukan semata soal curah hujan tinggi, tapi tentang kerusakan sistematis yang dilakukan dengan “restu” pihak-pihak berwenang. Izin-izin itu seperti peta jalan menuju bencana.
Kini, ketika banjir bandang dan longsor melanda, kita disuguhi narasi bahwa ini adalah musibah alam.
Tidak, ini bukan musibah. Ini akibat ketamakan yang berselingkuh dengan kebijakan yang lemah, di mana ekosistem dijadikan komoditas yang bisa ditebus dengan secarik kertas izin.
Maka, inilah saatnya untuk bertanya lebih keras, Siapa pemegang izin itu? Siapa yang memuluskan jalan bagi penebangan kayu di hutan-hutan penyangga Sukabumi dan Cianjur?
Dan yang terpenting, siapa yang berani berdiri di garis depan untuk membuka semua ini? Alam sudah bersuara lantang.
Kini giliran kita untuk menuntut keadilan atas kerusakan yang disengaja ini.
Jalu369