Dalam konteks demokrasi, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang terbaik, bukan panggung pertarungan di mana kekuasaan petahana merusak independensi birokrasi. Sayangnya, Kabupaten Cianjur dan banyak daerah lainnya di Indonesia justru menunjukkan gejala yang sebaliknya. Birokrasi, yang semestinya netral, sering kali menjadi alat politik bagi para penguasa yang sedang menjabat untuk mempertahankan status quo. Praktik ini tidak hanya merusak profesionalisme birokrasi, tetapi juga mengancam demokrasi lokal yang sehat dan adil.
Koalisi Kekuasaan dan Birokrasi Instrumen Politik yang Terselubung
Teori tentang koalisi kekuasaan menyebutkan bahwa birokrasi idealnya harus beroperasi secara independen dan profesional. Max Weber, dalam teorinya tentang birokrasi rasional, menekankan pentingnya birokrasi yang berlandaskan meritokrasi, objektivitas, dan akuntabilitas. Namun, dalam konteks kekuasaan politik lokal, birokrasi sering kali menjadi alat politik yang digunakan oleh petahana untuk melanggengkan pengaruhnya. Penguasa lokal yang sedang menjabat cenderung bersekutu dengan birokrasi guna mengendalikan kebijakan dan mengarahkan arah politik yang menguntungkan mereka.
Di Cianjur, misalnya, Aparatur Sipil Negara (ASN), kerap mengalami tekanan dari pihak petahana. Mereka dituntut untuk mendukung kampanye politik dan diarahkan untuk hadir dalam acara-acara tertentu, bahkan jika itu di luar tugas resmi mereka. Tindakan semacam ini bukanlah contoh dari birokrasi yang profesional, tetapi lebih menyerupai upaya manipulasi untuk mempertahankan kekuasaan. Ini menimbulkan ketakutan dalam birokrasi, dan merusak independensi ASN yang seharusnya bekerja untuk melayani masyarakat, bukan kepentingan politik petahana.
Praktik Manipulasi Birokrasi dalam Pilkada
Manipulasi birokrasi dalam Pilkada bukanlah hal yang baru. Di berbagai daerah, penggunaan birokrasi sebagai alat politik sudah menjadi praktik umum. Contohnya, dalam Pilkada Banyuwangi pada tahun 2015, ASN diinstruksikan untuk mendukung calon tertentu, dan mereka yang tidak mengikuti instruksi ini menghadapi ancaman penundaan promosi atau mutasi jabatan ke wilayah yang tidak diinginkan. Begitu juga dengan kasus Pilkada di Gowa, Sulawesi Selatan, tahun 2020, di mana ASN didorong untuk menghadiri acara-acara politik dengan dalih penugasan dinas, padahal ada kepentingan politik tersembunyi di baliknya.
Dalam skenario seperti ini, ASN tidak lagi bekerja demi masyarakat, tetapi demi kepentingan penguasa yang ingin mempertahankan jabatan. Praktik ini tidak hanya merusak prinsip netralitas birokrasi, tetapi juga menciptakan ketimpangan dalam kompetisi politik. Kandidat yang tidak memiliki akses terhadap birokrasi terpaksa harus berjuang melawan kekuatan petahana yang telah mengakar kuat.
Teknik-teknik Represi dalam Birokrasi Pilkada Cianjur
Dalam konteks Pilkada Cianjur, petahana sering kali menerapkan teknik-teknik represi halus terhadap birokrasi untuk memastikan kemenangan mereka. Beberapa teknik ini meliputi:
1. Ancaman Mutasi dan Promosi: ASN yang tidak mendukung petahana diancam akan dimutasi ke wilayah yang jauh atau ke posisi yang kurang diinginkan. Sementara itu, ASN yang loyal sering kali diiming-imingi dengan promosi jabatan. Pola ini menciptakan atmosfer ketakutan dalam birokrasi, sehingga mereka cenderung patuh pada keinginan petahana ketimbang menjalankan tugas secara profesional.
2. Mobilisasi ASN untuk Kampanye Politik: ASN didorong untuk menghadiri acara kampanye petahana dengan kedok penugasan dinas. Padahal, kehadiran mereka tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik, melainkan hanya untuk menunjukkan dukungan pada petahana. Praktik ini mengaburkan batas antara tugas dinas dan kepentingan pribadi petahana.
3. Penggunaan Anggaran Program Populis: Program-program bantuan sosial yang seharusnya berfokus pada kesejahteraan rakyat sering kali dijadikan alat kampanye terselubung. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk masyarakat digunakan untuk membangun citra positif petahana menjelang Pilkada. Praktik ini bukan hanya manipulatif, tetapi juga menyalahgunakan dana publik demi kepentingan pribadi.
Kritik Terhadap Manipulasi Birokrasi
Manipulasi birokrasi dalam Pilkada menunjukkan lemahnya kontrol terhadap independensi institusi publik. Ada beberapa kritik tajam yang harus disampaikan terhadap praktik ini. Pertama, manipulasi birokrasi adalah bentuk represi kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Ketika birokrasi dipaksa untuk patuh pada kepentingan politik petahana, ASN kehilangan kebebasan untuk bersikap netral. Ini tidak hanya merusak profesionalisme ASN, tetapi juga menciptakan budaya ketakutan dalam birokrasi.
Kedua, praktik ini menciptakan ketidakadilan dalam kompetisi politik. Petahana yang memanfaatkan birokrasi sebagai alat politik secara tidak adil memperbesar peluang mereka untuk menang. Hal ini merusak prinsip keadilan dalam Pilkada dan menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Jika dibiarkan, masyarakat akan kehilangan keyakinan bahwa Pilkada dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilih oleh rakyat.
Akhirul Kalam, untuk melindungi demokrasi lokal dan menjaga netralitas birokrasi, diperlukan langkah-langkah tegas dari Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilu untuk mengawasi ASN dalam Pilkada. Sanksi tegas harus diterapkan terhadap ASN yang terlibat dalam politik praktis, dan transparansi publik perlu ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Manipulasi birokrasi adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat demokrasi yang sejati. Kabupaten Cianjur dan daerah-daerah lainnya harus memahami bahwa birokrasi yang netral adalah pilar utama dari pemerintahan yang sehat. Jika birokrasi terus-menerus dijadikan alat politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan hilang, dan demokrasi lokal akan tergantikan oleh otoritarianisme yang terselubung.***