Oleh : Brody Jenner 8 Mei 2025
Dalam beberapa tahun terakhir, tren peningkatan angka perceraian di Indonesia khususnya di Kabupaten Cianjur, menjadi sorotan serius. Salah satu faktor yang diduga berkontribusi adalah peran Pengadilan Agama yang dinilai terlalu mudah mengabulkan permohonan cerai.
Meskipun proses hukum telah memenuhi syarat formal, pertanyaan kritis muncul, apakah Pengadilan Agama benar-benar mempertimbangkan asas keutuhan keluarga, atau sekadar menjadi “stempel legal” bagi perceraian.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa perceraian harus menjadi jalan terakhir setelah upaya perdamaian gagal.
Namun, dalam praktiknya, mediasi yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 Tahun 2016 sering hanya sekadar prosedur administratif.
Banyak pasangan datang ke pengadilan bukan untuk mencari solusi, melainkan sekadar memenuhi syarat formal perceraian. Di sinilah letak masalahnya, hakim sering kali terlalu cepat memutuskan cerai tanpa mengeksplorasi akar masalah rumah tangga pasangan.
Prinsip “ne bis in idem” (tidak boleh diadili dua kali untuk perkara yang sama) dan “res judicata pro veritate habetur” (putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar), seharusnya menjadi landasan dalam menangani permohonan cerai berulang.
Namun, dalam beberapa kasus, Pengadilan Agama tetap memeriksa dan mengabulkan permohonan cerai yang sebenarnya telah ditolak di tingkat sebelumnya.
Ini bukan hanya merusak kepastian hukum, tetapi juga mencederai keadilan bagi pihak yang sebelumnya menang.
Kritik ini bukan untuk menafikan hak individu dalam mengakhiri perkawinan yang bermasalah. Namun, lembaga peradilan harus menjaga keseimbangan antara perlindungan hukum individu dan tanggung jawab sosial menjaga keutuhan keluarga.
Jika Pengadilan Agama terus mempermudah perceraian tanpa upaya serius untuk rekonsiliasi, maka ia berisiko menjadi “mesin legalisasi perceraian”, bukan penjaga nilai-nilai keluarga sebagaimana mandat awalnya.
Agar tidak terjebak dalam formalitas, Pengadilan Agama harus memperkuat mediasi dengan melibatkan psikolog, konselor keluarga, atau tokoh agama yang kompeten, kemudian menerapkan pendekatan holistik, di mana hakim tidak hanya mengecek syarat formal, tetapi juga mendalami dinamika rumah tangga pasangan dan konsisten pada prinsip “perceraian sebagai upaya terakhir”, bukan sekadar memenuhi tuntutan administratif.
Jika Pengadilan Agama ingin tetap dipercaya masyarakat, ia harus lebih dari sekadar lembaga formalitas hukum.
Integritas hakim, komitmen pada nilai-nilai keluarga, dan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan sengketa pernikahan adalah kuncinya.
Tanpa reformasi mendasar, Pengadilan Agama tidak hanya gagal melindungi keluarga, tetapi juga turut mempercepat krisis institusi pernikahan di Indonesia.
(Brody Jenner 8 Mei 2025)








