Depok| Pernyataan juru bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Mabruri, yang membandingkan kekalahan pasangan calon Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A Rafiq dalam Pilkada Depok 2024 dengan runtuhnya Kekhalifahan Andalusia, adalah sebuah narasi yang tidak hanya keliru, tetapi juga menunjukkan logika yang jauh dari relevansi politik kontemporer.
Analogi ini tidak tepat, tidak kontekstual, dan mencerminkan kesalahan berpikir yang serius dalam memahami dinamika politik lokal dan sejarah peradaban.
Pertama, membandingkan kekalahan dalam pilkada dengan kejatuhan Kekhalifahan Andalusia adalah bentuk simplifikasi sejarah yang berbahaya.
Kekhalifahan Andalusia merupakan entitas politik, sosial, dan budaya yang kompleks, yang runtuh setelah berabad-abad menjadi pusat kemajuan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya.
Proses keruntuhannya melibatkan dinamika geopolitik yang luas, invasi eksternal, dan konflik internal yang berlarut-larut.
Sementara itu, Pilkada Depok adalah kontestasi politik lokal dalam sistem demokrasi modern yang diatur oleh mekanisme hukum dan peraturan yang jelas. Tidak ada kesamaan antara kedua fenomena ini, baik dari segi konteks, skala, maupun substansi.
Kedua, narasi ini mencerminkan upaya untuk mencari pembenaran emosional atas kekalahan yang seharusnya dievaluasi secara rasional.
Kekalahan dalam pilkada adalah hasil dari preferensi pemilih, strategi kampanye, dan berbagai faktor lain yang terkait dengan dinamika politik lokal.
Jika mengaitkannya dengan narasi sejarah yang megah tetapi tidak relevan, seperti Kekhalifahan Andalusia, justru menunjukkan ketidakmampuan untuk menghadapi realitas politik dengan kepala dingin dan sikap introspektif.
Ini adalah bentuk pengalihan isu yang tidak produktif yang malah memperlemah kredibilitas partai.
Ketiga, penggunaan analogi ini berpotensi membingungkan publik dan menciptakan persepsi yang keliru tentang politik.
Kekhalifahan Andalusia adalah bagian dari sejarah peradaban Islam yang seharusnya dihormati sebagai warisan intelektual, bukan dijadikan alat retorika untuk menutupi kekalahan politik.
Hal ini justru merendahkan nilai sejarah itu sendiri dan berpotensi menciptakan kesalahpahaman di masyarakat.
Dalam demokrasi, kekalahan adalah hal yang wajar dan merupakan peluang untuk evaluasi dan perbaikan.
Jika mengaitkannya dengan narasi sejarah yang tidak relevan, hanya menunjukkan kurangnya kesiapan partai untuk menerima hasil dengan kedewasaan politik.
Keempat, kritik ini juga perlu diarahkan pada pendekatan PKS dalam merespons kekalahan.
Alih-alih memberikan narasi yang membangun dan menguatkan semangat kader untuk melakukan introspeksi dan konsolidasi, partai ini justru memilih untuk menyampaikan pernyataan yang menunjukkan ketidakmampuan untuk bergerak maju.
Hal ini memberikan sinyal negatif kepada pendukungnya, yang seharusnya diberdayakan untuk menghadapi tantangan politik selanjutnya dengan optimisme dan rencana strategis yang matang.
Dalam konteks ini, PKS harus menyadari bahwa kekalahan dalam pilkada adalah bagian dari proses demokrasi yang sehat.
Daripada menarik analogi yang tidak relevan, partai seharusnya fokus pada evaluasi program, strategi, dan pendekatan politiknya.
Kritik terhadap juru bicara ini adalah panggilan untuk kembali ke landasan logika politik yang sehat dan rasional, yang menghormati integritas sejarah sekaligus menjunjung tinggi semangat demokrasi modern.
Kesimpulannya, narasi yang disampaikan oleh Ahmad Mabruri adalah contoh nyata dari kesalahan berpikir dan retorika politik yang tidak berdasar.
PKS seharusnya menggunakan momen ini untuk belajar dari kekalahan, memperkuat fondasi politiknya, dan menghadirkan solusi nyata bagi masyarakat.
Jika mengaitkan kekalahan politik lokal dengan sejarah peradaban besar seperti Kekhalifahan Andalusia, tidak hanya tidak relevan, tetapi juga merugikan kredibilitas partai dalam kancah politik nasional.
Jalu 369.