Korelasi Petani, Harga Gabah, dan Harga Beras
Oleh: Syahrianto – Pegiat Pertanian
Kasus beras oplosan yang sedang ditangani Satgas Pangan dan Bareskrim Polri telah membuka lapisan masalah yang lebih dalam dari sekadar mutu pangan. Di balik pengoplosan beras premium yang marak, terdapat kerusakan struktural tata niaga pangan yang menciptakan kesenjangan antara harga beras dan harga gabah. Kesenjangan inilah yang menjadi sumber paradoks pangan nasional, harga beras melambung, namun kesejahteraan petani tetap stagnan.
Secara empiris, harga beras dan harga gabah seharusnya berkorelasi langsung. Ketika harga beras naik di pasar, petani sebagai produsen logikanya harus memperoleh nilai tambah dari gabah yang mereka hasilkan. Namun data terbaru justru memperlihatkan hal yang sebaliknya.
Harga beras premium telah menembus Rp 16.000 hingga Rp 18.000 per kilogram, sementara harga gabah kering panen hanya berkisar Rp 6.760 per kilogram, naik tipis dari tahun sebelumnya. Selisih yang melebar ini menunjukkan bahwa kenaikan harga beras tidak pernah benar-benar mengalir ke hulu, melainkan berhenti di rantai distribusi dan penggilingan besar yang menguasai pasar.
Ketidakseimbangan ini memiliki dampak berantai.
Petani yang tidak memperoleh margin layak kehilangan daya beli untuk pupuk. Permintaan pupuk menurun, stok menumpuk di gudang distributor, sementara harga pupuk di pasar global fluktuatif dan kebijakan subsidi domestik cenderung kaku.
Ketimpangan distribusi pupuk bersubsidi semakin memperburuk situasi, kelangkaan terjadi di banyak daerah, mendorong munculnya pupuk oplosan yang justru memperparah kerugian petani.
Dalam kondisi ini, surplus beras nasional yang diklaim pemerintah menjadi angka kosong, rakyat membayar mahal untuk beras, sementara petani tetap miskin dan input produksi tersendat.
Pegiat Pertanian Syahrianto, menegaskan bahwa akar persoalan ini terletak pada kegagalan mengintegrasikan kebijakan harga gabah, harga beras, dan distribusi pupuk. Selama tiga komponen ini dikelola secara parsial, krisis pangan akan terus berulang.
Korelasi harga harus dibangun sebagai siklus positif: harga gabah yang layak memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi, peningkatan produksi menurunkan biaya rata-rata, sehingga harga beras di pasar lebih terjangkau bagi konsumen, harga yang stabil mendorong konsumsi dan memperkuat pasar domestik.
Kebijakan yang hanya berfokus pada pengendalian harga eceran tertinggi (HET) beras tanpa memperbaiki nilai gabah dan akses pupuk hanya akan menciptakan paradoks baru.
Pemerintah perlu melakukan reformasi menyeluruh, audit distribusi beras dan pupuk, pembenahan mekanisme subsidi agar tepat sasaran, serta pembatasan dominasi korporasi besar atas cadangan pangan negara.
Dengan langkah ini, rantai pangan nasional dapat kembali ke jalur yang adil: petani diuntungkan karena harga gabah rasional, konsumen terlindungi karena harga beras stabil, dan seluruh siklus produksi pangan menjadi berkelanjutan.
Kasus beras oplosan seharusnya menjadi momentum koreksi kebijakan, bukan sekadar penindakan kriminal. Jika pemerintah berani menata ulang korelasi harga gabah-beras-pupuk sebagai satu kesatuan kebijakan pangan, Indonesia tidak hanya keluar dari krisis sesaat, tetapi juga membangun fondasi kedaulatan pangan yang sesungguhnya.***








