Menepati Amanat Kepulauan: Komitmen Idris dan Tanggung Jawab Pemprov DKI

Menepati Amanat Kepulauan: Komitmen Idris dan Tanggung Jawab Pemprov DKI

Oleh : Jalu 369

Di tengah pesona laut biru dan pasir putihnya, Kepulauan Seribu menyimpan cerita lain yang jauh dari bayangan wisatawan: soal kebutuhan hunian yang layak. Di pulau-pulau kecil yang hanya beberapa kilometer persegi luasnya, ribuan jiwa menjalani hidup dalam keterbatasan ruang dan infrastruktur.

Dalam situasi seperti ini, gagasan pembangunan rumah susun bukan hanya sebuah proyek, tetapi sebuah kebutuhan mendesak yang menyentuh aspek paling dasar dari keberadaban: hak atas tempat tinggal yang manusiawi.

Maka ketika Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Muhammad Idris, mempertanyakan kelanjutan proyek pembangunan rusun di Kepulauan Seribu, ia sejatinya sedang menyuarakan suara warga yang selama ini terpinggirkan oleh geografi dan kebijakan.

Idris tidak sedang mencampuri urusan teknis birokrasi, melainkan sedang menjalankan fungsi dasarnya sebagai wakil rakyat: memastikan bahwa janji pembangunan bukan hanya retorika musiman.

Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kepulauan Seribu sudah melampaui 30.000 jiwa, tersebar di 11 pulau berpenghuni dengan tingkat kepadatan yang tinggi.

Beberapa pulau seperti Pulau Panggang bahkan mencapai lebih dari 2.600 jiwa per km², menjadikannya salah satu wilayah paling padat di DKI Jakarta. Sementara ruang hidup tetap, kebutuhan tumbuh setiap hari. Rumah susun yang direncanakan sejak 2022, dan dijanjikan mulai dibangun pada 2024, hingga kini masih terhambat oleh regulasi dan kurangnya koordinasi antarinstansi.

Pernyataan Idris tidak dapat dipandang sebagai sekadar kritik. Justru, ini adalah bentuk tanggung jawab publik. Ia bukan hanya bertanya, tetapi juga mendorong, mengingatkan, dan menegaskan bahwa amanat warga tidak boleh dikhianati oleh kelambanan.

Ketika seorang warga memilih wakilnya, ia menitipkan harapan. Dan ketika wakil itu dalam hal ini Idris berbicara di forum resmi, ia sejatinya sedang mengembalikan titipan tersebut dalam bentuk perjuangan konkret.

Sudah sepatutnya pemerintah provinsi menyambut desakan ini sebagai panggilan moral, bukan tekanan politis. Realisasi pembangunan rusun di Kepulauan Seribu bukan hanya akan menjadi capaian infrastruktur, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak dasar warga yang telah lama menanti keadilan spasial.

Warga Kepulauan Seribu tidak menuntut istana di tengah laut, mereka hanya meminta tempat tinggal yang layak dan aman sebuah permintaan yang sepantasnya menjadi prioritas, bukan catatan kaki dalam RKPD.

Maka hari ini, saat Idris bersuara, bukan hanya ia yang berbicara. Ia adalah gema dari suara nelayan, guru, ibu rumah tangga, dan anak-anak sekolah di Pulau Tidung, Panggang, Pari, dan Pramuka. Suara mereka yang tak selalu terdengar dari balik gemuruh kota Jakarta.

Inilah esensi demokrasi, ketika yang kecil dan jauh pun bisa didengar, jika wakilnya benar-benar hadir dan peka

Dan Idris, hari ini, sedang menjalankan kewajibannya. Sudah sepatutnya pemerintah menyambutnya bukan dengan pembelaan, tapi dengan percepatan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *