25 Januari 2025, LukmanJalu369
Dalam dinamika politik Indonesia yang semakin kompleks, wacana reformasi sistem perwakilan politik dan efisiensi birokrasi menjadi sebuah keharusan yang tak bisa dihindari. Selama bertahun-tahun, kita terjebak dalam mekanisme demokrasi yang rumit, panjang, dan berbiaya mahal.
Demokrasi yang idealnya menjadi alat untuk menyalurkan aspirasi rakyat, justru kerap berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan yang menguras sumber daya negara.
Pemilu yang mahal, proses politik yang bertele-tele, serta konflik horizontal yang sering terjadi menjadi bukti nyata bahwa sistem ini perlu ditata ulang agar lebih efektif, efisien, dan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Saat ini, kita menghadapi kenyataan bahwa mayoritas Aparatur Sipil Negara (ASN) terjebak dalam rutinitas administratif yang dapat dengan mudah diotomatisasi oleh teknologi.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 39% ASN terlibat dalam pekerjaan administrasi yang repetitif, sementara peran strategis dalam pelayanan publik justru kurang optimal.
Ini bukan sekadar pemborosan sumber daya manusia, tetapi juga menjadi beban fiskal yang besar bagi negara.
Pengeluaran untuk menggaji ASN dan anggota legislatif telah mencapai lebih dari Rp504 triliun pertahun, sebuah angka yang seharusnya bisa dialokasikan lebih produktif untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Reformasi ini perlu dimulai dari hal yang paling mendasar struktur perwakilan politik. Kita perlu berani mengubah cara kita memilih dan diwakili. Konsep tradisional tentang perwakilan politik yang berbasis pada tingkatan DPRD kabupaten/kota dan provinsi perlu digantikan dengan model yang lebih langsung dan representatif.
Gagasan Reformatif, Menghapus Struktur yang Berlebihan dan Membangun Representasi yang Efektif
Bayangkan jika perwakilan politik dimulai dari tingkat kecamatan. Dengan 7.281 kecamatan yang ada di Indonesia, setiap kecamatan dapat memilih satu wakil rakyatnya untuk duduk di tingkat provinsi.
Para wakil ini kemudian memilih perwakilan di antara mereka untuk mewakili provinsi di tingkat nasional, sehingga jumlah anggota DPR RI pun berkurang drastis dan hanya sebanyak jumlah provinsi yang ada. Sistem ini tidak hanya memangkas biaya demokrasi yang berlebihan, tetapi juga membawa perwakilan politik lebih dekat dengan masyarakat di tingkat akar rumput.
Dengan reformasi ini, DPRD kabupaten/kota dihapus, dan peran perwakilan diambil alih oleh forum kolaboratif yang terdiri dari tokoh agama, pemuda, ormas, dan unsur birokrasi.
Fungsi legislatif di tingkat lokal tidak lagi menjadi monopoli partai politik, tetapi menjadi ruang bersama untuk merumuskan kebijakan yang berbasis kebutuhan masyarakat setempat.
Landasan Teoritis, Efektivitas dan Efisiensi Tata Kelola Pemerintahan
Menurut teori administrasi publik yang dikemukakan oleh Woodrow Wilson, efisiensi dalam pemerintahan adalah kunci keberhasilan pembangunan.
Ia berpendapat, bahwa pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang mampu bekerja dengan minimal birokrasi dan maksimal hasil.
Dalam konteks ini, mengurangi lapisan pemerintahan yang tidak esensial dan menggantinya dengan struktur yang lebih ringkas akan mempercepat pengambilan keputusan dan mengurangi korupsi struktural.
Sementara itu, menurut pemikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government, birokrasi yang terlalu besar hanya akan menjadi penghambat pertumbuhan.
Mereka berpendapat bahwa pemerintahan yang efektif adalah yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan pengurangan intervensi administratif yang berlebihan. Dengan mengalihkan ASN dari pekerjaan administrasi ke peran yang lebih strategis di daerah asal mereka, kita tidak hanya membangun sistem pemerintahan yang lebih efisien, tetapi juga memperkuat otonomi daerah.
Dampak dan Manfaat dari Reformasi Sistem Politik Ini
Dengan merampingkan struktur perwakilan politik dan birokrasi, kita dapat mencapai beberapa manfaat nyata, di antaranya:
1. Pengurangan Beban Fiskal
Setiap rupiah yang dihemat dari biaya pemilu yang mahal, gaji dewan yang besar, dan tunjangan yang berlebihan, dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial yang lebih mendesak.
2. Efektivitas Pemerintahan
Dengan struktur yang lebih sederhana dan berbasis pada keterwakilan kecamatan, proses pengambilan kebijakan akan lebih cepat dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat.
3. Keterlibatan Masyarakat yang Lebih Besar
Reformasi ini akan mengembalikan politik kepada rakyat dengan mendekatkan proses pengambilan keputusan ke tingkat komunitas lokal.
4. Stabilitas Sosial dan Politik
Dengan proses pemilu yang lebih sederhana dan langsung, potensi konflik politik dapat diminimalkan. Demokrasi yang lebih sederhana akan mengurangi polarisasi dan ketegangan yang sering muncul dalam sistem pemilu saat ini.
Menyadarkan Publik untuk Berani Berubah
Kita harus sadar bahwa perubahan ini bukan sekadar opsi, tetapi kebutuhan yang mendesak.
Terlalu lama kita terjebak dalam sistem politik yang tidak efektif, dengan birokrasi yang lambat dan anggaran yang membengkak.
Saatnya kita berani mengambil langkah maju dengan membongkar sistem yang usang dan menggantinya dengan model yang lebih adaptif, efisien, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Sebagai rakyat, kita harus mulai memahami bahwa kekuasaan sejati ada di tangan kita.
Kita bisa menuntut perubahan dan mendorong reformasi struktural demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Sistem yang kita bangun hari ini harus mampu menjawab tantangan masa depan, bukan terus menerus mempertahankan pola lama yang sudah terbukti tidak efektif.***
Jalu369








