Pantai Bahagia: Harapan Yang Tertahan di Tepian Laut Jawa

Oleh : JL369

Di tepian Laut Jawa, di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, ribuan keluarga hidup dalam ketidakpastian.

Mereka telah menempati tanah ini selama puluhan tahun, membangun rumah, menanam mimpi, dan menghidupi anak-anak mereka dari hasil laut serta tambak. Namun, hingga kini, hak atas tanah yang mereka pijak masih menjadi mimpi yang tertunda.

Desa ini, meski bernama “Bahagia,” menjadi saksi bisu bagaimana sistem dan kebijakan sering kali melupakan rakyat kecil.

Status tanah yang belum jelas menjadikan mereka hanya “tamu” di rumah sendiri. Ketidakpastian ini, telah menghambat banyak hal akses terhadap bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, hingga kesempatan memperbaiki taraf hidup mereka.

Pada Pemilihan Presiden terakhir, lebih dari 90% suara warga Pantai Bahagia diberikan kepada Prabowo Subianto.

Pilihan itu bukan sekadar angka, melainkan ungkapan kepercayaan dan harapan bahwa pemimpin yang mereka pilih akan memperjuangkan hak-hak mereka.

Kepercayaan ini bukan tanpa alasan, mereka yakin bahwa seorang pemimpin yang besar tidak hanya mendengar suara rakyatnya, tetapi juga bertindak dengan hati nurani dan keadilan.

Hampir lebih dari 4 tahun, Desa Pantai Bahagia telah mengajukan permohonan pelepasan status tanah melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Namun, dari ribuan hektare yang dimohonkan, baru 10% yang diakui secara prosedural, itupun sebatas informasi awal. Sementara itu, ancaman dari derasnya arus kepentingan industri properti semakin nyata.

Wilayah desa ini menjadi incaran pengembang yang siap mengubah lahan-lahan produktif menjadi kompleks perumahan dan komersial.

Jika hal ini terjadi, warga desa akan kehilangan segalanya tanah mereka, penghidupan mereka, dan warisan untuk anak-cucu mereka.

Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, pernah mengunjungi desa ini pada awal 2024.

Dalam kunjungannya, beliau menyaksikan langsung bagaimana kerasnya kehidupan nelayan yang terancam abrasi, bagaimana anak-anak bermain di rumah-rumah yang nyaris tenggelam, dan bagaimana ibu-ibu menanam harapan agar masa depan anak-anak mereka tetap ada.

Kata-kata beliau tentang pentingnya mendengarkan aspirasi warga masih terngiang di telinga kami, membawa secercah harapan di tengah ketidakpastian.

Namun, harapan itu kini membutuhkan tindakan nyata.

Desa Pantai Bahagia tidak meminta banyak, mereka hanya meminta keadilan atas tanah yang telah mereka huni selama puluhan tahun, membayar pajak, mengikuti prosedur, dan menjalankan kewajiban sebagai warga negara.

Yang mereka butuhkan adalah kepastian bahwa tanah ini adalah milik mereka, bahwa hak mereka diakui oleh negara, bahwa anak-anak mereka tidak akan terusir dari rumah yang mereka bangun dengan keringat dan air mata.

Ketidakpastian ini tidak hanya menjadi masalah administratif, tetapi juga ancaman serius bagi keberlangsungan hidup ribuan jiwa di desa ini.

Jika hak mereka terus diabaikan, generasi penerus Desa Pantai Bahagia akan tumbuh tanpa tanah, tanpa rumah, tanpa masa depan.

Kami menyuarakan sekaligus mengetuk nurani kepada para pemimpin negeri ini, termasuk Presiden Prabowo Subianto, untuk mendengar suara hati rakyat Desa Pantai Bahagia.

Jadikan desa ini sebagai contoh nyata bagaimana pemimpin besar bertindak dengan keadilan dan nurani. Jangan biarkan nama “Bahagia” hanya menjadi ironi di tengah penderitaan. Dari Desa Pantai Bahagia, sebuah harapan untuk masa depan yang lebih adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *