Potret Kemiskinan : Tinggal Ditengah Pusat Kota Cianjur Pasutri Huni Gubuk Reyot Tanpa Aliran Listrik

banner 468x60

Cianjur | Kendati berdiam di tengah Kota Cianjur, namun menjadi potret nyata, bagaimana kemiskinan masih menyelimuti negeri ini khususnya tatar kota santri Cianjur ini. Kemanjuran Kabupaten Cianjur, nampaknya masih hanya isapan jempol semata, pasalnya pemerataan perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Cianjur tidaklah merata.

Satu dari sekian banyak warga miskin di Kabupaten Cianjur adalah pasangan suami istri (pasutri) Aya Suhara (56) dan Nana Sumarna (64), warga Kampung Tegallega RT02/07 Desa Limbangansari, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tinggal di gubuk/rumah tidak layak huni (Rutilahu) berukuran 2×3 Meter.

Berdasarkan investigasi metropuncak.com dilapangan, kondisi pasutri tersebut sangatlah memperhatikan, sangat jauh dari kata layak apalagi sejahtera.

Gubug reyot yang ditempati pasutri Aya dan Nana terbuat dari kayu dan bambu bekas, sedangkan atap dan pinggir atasnya dari seng dan genteng bekas yang dikumpulkan dari hasil memungut di tempat pembuangan puing-puing pasca gempa.

Aya dan Nana penghuni gubuk reyot di Kampung Tegalega Desa Limbangansari, Kec/Kab Cianjur, Jawa Barat.

Didalam gubuk itu, tampak jelas terlihat tumpukan kasur lusuh sebagai alas tidur dan buntelan pakaian tertumpuk di dalam gubuk bertirai lusuh dengan seutas tali menghiasi ruangan agar tirai tersebut membuat Aya dan istrinya sedikit terhindar dari dinginnya angin di malam hari yang masuk lewat samping gubuk yang sempit itu.

Saat hujan deras, di gubuk reyot itulah Aya bersama istrinya hanya bisa merasakan dinginannya hujan dengan penuh rasa khawatir gubuknya akan roboh tertiup angin.

“Lamun hujan jeng angin sok tara tiasa bobo, kusabab cai asup ka jero, tiris pisan jeng sieun runtuh. (Jika hujan deras apalagi dengan angin besar tidak bisa tidur, karena air hujan masuk ke dalam, sehingga dingin dan takut roboh, red) ” kata Aya.

Setiap harinya tanpa turun hujan pun Aya dan istrinya selalu merasakan kedinginan, karena angin masuk ke sela-sela din-ding gubuk reyotnya itu. Kendati harus menahan dingin dalam ketidak nyamanan gubuk reyot, pasutri tersebut hanya bisa pasrah tinggal di gubuk reyot yang berdiri diatas tanah orang lain.

Penderitaan Aya dan istrinya tak berhenti sampai disitu, gubuk reyot yang ditempatinya itu tak ada penerangan cahaya lampu (Aliran listrik).

“Teu ay lampu kang, lamun peting mah sok make lilin we eta ge lamun tos seep mah mopoek nepika isuk da ngan meser hiji lilina, (Tak ada lampu bang, kalau malam suka pakai lilin saja itu juga kalau sudah habis lilinnya gelap-gelapan sampai pagi, soalnya cuma kebeli satu lilin, red),” ucap Aya.

Selain itu di gubuk reyot pasutri itu tak ada kamar mandi, setiap harinya Aya dan istrinya hanya mengandalkan sumber air di MCK umum yang lokasinya berada di kampung sebelah.

Sedangkan tempat untuk memasak, Aya hanya mengandalkan area di samping gubuk dan jika turun hujan, Istri Aya tidak bisa memasak, karena kayu dan tungku untuk masak basah terkena air hujan. Karena posisi tungku untuk memasak yang terbuat dari bata bekas sisa puing-puing berada di luar ruangan dan tak cukup dibuat di dalam gubuk.

Aya mengaku, ia dan istrinya terpaksa tinggal di gubuk reyot itu karena tak mampu untuk mengontrak rumah.

“Boro-boro kanggo ngontrak bumi, jang emam ge sapopoe hese masih kirang. (Jangankan mengontrak rumah, untuk makan sehari-hari juga masih saja sering kurang, red),” aku Aya.

Untuk bertahan hidup, Ay hanya bisa kuli serabutan, itupun kalau ada yang menyuruhnya sebagai tukang kuli cangkul di sawah dan jasa pijat tradisional.

Sedangkan tanah yang dibangun gubuk reyotnya itu adalah milik warga setempat yang dipinta izin untuk ditempatinya.

Dengan penuh harapan, Aya dan istrinya mendapat perhatian dari pemerintah maupun para pejabat serta para dermawan untuk lebih peduli terhadap warga miskin. Khususnya Aya bisa memiliki tempat untuk bertahan hidup yang cukup layak.

Potret kemiskinan masih menjadi salah satu polemik yang dihadapi Bangsa Indonesia. Bahkan, diusianya yang sudah 79 tahun. Negara ini belum merdeka dari garis kemiskinan, khususnya kemiskinan yang ada di Kabupaten Cianjur.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *