Politisi Predator dan Jubir Norak. (Foto: Ilustrasi).
Oleh: Luqman Jalu
Dalam politik Indonesia, muncul dua tipe aktor yang selalu meninggalkan jejak paling mudah dikenali politis predator dan jubir norak. Keduanya lahir dari semangat yang sama haus panggung tapi bekerja dengan cara yang berbeda.
Sang predator datang untuk mengambil alih, sementara sang jubir muncul untuk memastikan suara majikannya terdengar lebih besar dari kapasitas sebenarnya. Keduanya terlihat menonjol, tetapi justru dengan cara yang paling mudah dibaca.
Predator politik biasanya adalah mereka yang kalah berulang kali dalam kontestasi, gagal membangun basis, gagal mempertahankan integritas, dan gagal di hadapan publik. Mereka berpindah kapal bukan karena visi, tetapi karena naluri bertahan hidup. Mereka selalu datang membawa ambisi besar, tapi tanpa fondasi.
Ketika gagal di partai lama, mereka mengibarkan bendera moralitas baru seolah-olah sejarah mereka bisa hilang dalam satu konferensi pers. Padahal publik masih ingat riwayat panjang kekalahan mereka pileg jatuh, pilkada tumbang, dan loyalitas yang rapuh. Justru itu yang membuatnya menjadi predator bukan karena kemampuan, tetapi karena hasrat mengambil alih tempat yang dianggap lebih mudah digerogoti.
Sementara itu, jubir norak biasanya hadir sebagai pelengkap. Ia berbicara lebih keras dari data, lebih percaya diri dari kapasitas, dan lebih emosional dari substansi. Ia menyindir, menggertak, dan menggembungkan narasi seolah-olah partainya berada dalam posisi raksasa yang ditakuti, padahal publik membaca realitas sebaliknya. Noraknya bukan karena gaya bicara, tapi karena ketidakseimbangan antara klaim dan kenyataan.
Ketika bicara “politik saling membunuh,” yang terlihat bukan ketegasan, tetapi ketidakmampuan memahami bahwa politik hari ini tidak lagi mengandalkan agresi, tetapi kemampuan membangun institusi dan legitimasi.
Jubir norak biasanya jatuh pada kesalahan yang sama mengira bahwa volume suara menunjukkan kedalaman gagasan. Ia menyebut politisi lain sebagai “pemula yang baru mengorbit,” padahal partainya sendiri tengah diisi oleh deretan mantan politisi gagal yang datang bukan dengan kemenangan, tetapi dengan catatan panjang kekalahan. Mengibaratkan diri sebagai gajah tetapi ribut karena bayangan sendiri hanyalah ironi yang terlalu mudah terlihat. Dan ketika ia mencoba memancing pertarungan, partai besar tidak menggubris, bukan karena takut, tetapi karena tidak berada di kelas yang sama.
Keduanya predator dan jubir sama-sama menyumbang satu hal mempercepat penuaan sebuah partai yang awalnya ingin tampil sebagai rumah anak muda. Ketika oportunis masuk dan jubir norak mengambil alih corong komunikasi, citra partai berubah dari progresif menjadi panik, dari fresh menjadi tua sebelum waktunya. Energi muda yang seharusnya membangun visi malah terseret dalam ambisi pribadi mereka yang datang belakangan.
Di tengah keributan itu, pernyataan Wibi Andrino berdiri sebagai kontras yang terang. Kalimatnya ringkas, rasional, dan memahami esensi politik sebagai proses membangun titik temu. Bukan bunuh-membunuh, bukan pura-pura garang, bukan memaksa diri terlihat sebagai raksasa yang tidak ada. Itu bahasa politik yang matang, bukan teriakan mereka yang baru belajar memainkan mikrofon. Wibi bicara dengan disiplin dan etika, sesuatu yang justru hilang dari narasi para predator dan jubir norak.
Dan itulah masalah utama PSI hari ini bukan siapa musuhnya, tetapi siapa yang sedang mengambil alih ruangnya dari dalam. Bukan karena serangan lawan, tetapi karena pilihan mereka sendiri yang memberi panggung terlalu besar bagi mereka yang tidak memberikan nilai apa pun selain kegaduhan. Jika mereka tidak sadar, partai yang dulu dikenal sebagai representasi anak muda justru akan kehilangan jiwa mudanya bukan karena dihajar dari luar, tetapi karena dibebani oleh ambisi-ambisi tua yang belum selesai berdamai dengan kegagalan.
Pada akhirnya, politik tidak butuh predator yang datang membawa ambisi tanpa rekam jejak, dan tidak butuh jubir norak yang bekerja dengan suara lebih keras dari kapasitas berpikirnya. Politik butuh keseimbangan moral, strategi, dan ketenangan. Dan sampai hari ini, hanya sedikit yang menunjukkan itu salah satunya justru bukan dari partai yang paling ribut.








